Eks Dirut Perum Perindo Minta Hakim Tolak Replik JPU

Mantan Direktur Utama Perum Perikanan Indonesia (Perindo) Syahril Japarin meminta majelis hakim menolak replik Jaksa Penuntut Umum (JPU).

Melalui tim penasihat hukumnya, Muhammad Rudjito dari Kantor Maqdir Ismail, menyampaikan pihaknya tetap pada nota pembelaan yang dibacakan tanggal 30 Agustus 2022.

“Namun ada beberapa alasan sebagai tanggapan atas hal mendasar yang terdapat dalam replik,” kata Rujito di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Senin (5/9).

Pertama, kata Rujito, JPU menyatakan telah terjadi kerugian negara akibat penerbitan Medium Term Note (MTN) atau surat utang jangka menengah sebelum mendapatkan persetujuan dari Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

Jaksa berpendapat, pertanggungjawaban itu dibebankan kepada direksi Perum Perindo. Namun Rujito mengatakan, hal itu tidak bisa dibuktikan jaksa.

Sebab dalam sidang, saksi dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyatakan, kerugian negara disebabkan tunggakan tagihan Perindo yang tidak dibayarkan mitra.

Yakni PT GPS, PT KBT, Irwan Gozali atau Pramudji Chandra dan Renyta Purwaningrum yang terjadi pada tahun 2018.

“Bukan pada masa ketika Terdakwa menjadi Direktur Utama yang berakhir pada tanggal 11 Desember 2017,” ungkap Rujito.

Selain itu Rujito menjelaskan, saat kliennya menjabat, penerbitan dan penggunaan MTN sebesar Rp 200 miliar telah disetujui Menteri BUMN pada tahun buku 2017.

Namun pada tahun 2018 atau pada saat kliennya pensiun, Menteri BUMN kembali mengirimkan surat kepada Perum Perindo.

Tapi, kali ini berisi peringatan agar penggunaan MTN mematuhi peraturan perundang-undangan. Dengan demikian Rujito menegaskan, permasalahan terjadi di tahun 2018 saat Risyanto Suanda menjabat Dirut Perum Perindo.

“Penerbitan MTN dan penggunaannya di tahun buku 2017 terbukti tidak melawan hukum dan tidak merugikan keuangan negara,” bebernya.

Rujito juga membantah soal tunggakan mitra disebabkan adanya perintah Dewan Pengawas (Dewas) Perum Perindo untuk menghentikan pembiayaan kepada mitra.

Menurutnya, Dewas tidak pernah meminta penghentian aktivitas pembayaran ikan kepada mitra. Sebab yang terjadi justru Dewas tidak keberatan dengan penerbitan MTN Seri B Rp 100 miliar, di masa kepemimpinan Risyanto Suanda pada 17 Desember 2017.

Rujito menjelaskan, Dewas tidak mungkin menyetujui MTN Seri B senilai Rp 100 miliar, jika pada penerbitan MTN Seri A senilai Rp 100 miliar di masa kepemimpinan Syahril Japarin bermasalah. “Yaitu apabila terjadi tagihan Perum Perindo yang tidak terbayar oleh para minta,” kata Rujito.

 

Oleh karena itu, Rujito meminta Majelis Hakim menolak seluruh replik JPU dan menyatakan kliennya tidak terbukti melanggar dakwaan jaksa. Ia pun meminta kliennya dibebaskan dari tahanan dan nama baiknya dipulihkan.

“Memerintahkan kepada Penuntut Umum agar Terdakwa Syahril Japarin dikeluarkan dari Rumah Tahanan Negara dan membebankan biaya perkara ini kepada Negara,” tandas Rujito. ■

]]> Mantan Direktur Utama Perum Perikanan Indonesia (Perindo) Syahril Japarin meminta majelis hakim menolak replik Jaksa Penuntut Umum (JPU).

Melalui tim penasihat hukumnya, Muhammad Rudjito dari Kantor Maqdir Ismail, menyampaikan pihaknya tetap pada nota pembelaan yang dibacakan tanggal 30 Agustus 2022.

“Namun ada beberapa alasan sebagai tanggapan atas hal mendasar yang terdapat dalam replik,” kata Rujito di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Senin (5/9).

Pertama, kata Rujito, JPU menyatakan telah terjadi kerugian negara akibat penerbitan Medium Term Note (MTN) atau surat utang jangka menengah sebelum mendapatkan persetujuan dari Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

Jaksa berpendapat, pertanggungjawaban itu dibebankan kepada direksi Perum Perindo. Namun Rujito mengatakan, hal itu tidak bisa dibuktikan jaksa.

Sebab dalam sidang, saksi dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyatakan, kerugian negara disebabkan tunggakan tagihan Perindo yang tidak dibayarkan mitra.

Yakni PT GPS, PT KBT, Irwan Gozali atau Pramudji Chandra dan Renyta Purwaningrum yang terjadi pada tahun 2018.

“Bukan pada masa ketika Terdakwa menjadi Direktur Utama yang berakhir pada tanggal 11 Desember 2017,” ungkap Rujito.

Selain itu Rujito menjelaskan, saat kliennya menjabat, penerbitan dan penggunaan MTN sebesar Rp 200 miliar telah disetujui Menteri BUMN pada tahun buku 2017.

Namun pada tahun 2018 atau pada saat kliennya pensiun, Menteri BUMN kembali mengirimkan surat kepada Perum Perindo.

Tapi, kali ini berisi peringatan agar penggunaan MTN mematuhi peraturan perundang-undangan. Dengan demikian Rujito menegaskan, permasalahan terjadi di tahun 2018 saat Risyanto Suanda menjabat Dirut Perum Perindo.

“Penerbitan MTN dan penggunaannya di tahun buku 2017 terbukti tidak melawan hukum dan tidak merugikan keuangan negara,” bebernya.

Rujito juga membantah soal tunggakan mitra disebabkan adanya perintah Dewan Pengawas (Dewas) Perum Perindo untuk menghentikan pembiayaan kepada mitra.

Menurutnya, Dewas tidak pernah meminta penghentian aktivitas pembayaran ikan kepada mitra. Sebab yang terjadi justru Dewas tidak keberatan dengan penerbitan MTN Seri B Rp 100 miliar, di masa kepemimpinan Risyanto Suanda pada 17 Desember 2017.

Rujito menjelaskan, Dewas tidak mungkin menyetujui MTN Seri B senilai Rp 100 miliar, jika pada penerbitan MTN Seri A senilai Rp 100 miliar di masa kepemimpinan Syahril Japarin bermasalah. “Yaitu apabila terjadi tagihan Perum Perindo yang tidak terbayar oleh para minta,” kata Rujito.

 

Oleh karena itu, Rujito meminta Majelis Hakim menolak seluruh replik JPU dan menyatakan kliennya tidak terbukti melanggar dakwaan jaksa. Ia pun meminta kliennya dibebaskan dari tahanan dan nama baiknya dipulihkan.

“Memerintahkan kepada Penuntut Umum agar Terdakwa Syahril Japarin dikeluarkan dari Rumah Tahanan Negara dan membebankan biaya perkara ini kepada Negara,” tandas Rujito. ■
]]> . Sumber : Rakyat Merdeka – RM.ID .

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Categories