Ekonomi Digital Inklusif Mampu Jadi Tulang Punggung Perekonomian
Pengamat ekonomi digital Heru Sutadi mengatakan, ekonomi digital bisa menjadi tulang punggung perekonomian Indonesia di masa depan. Terlebih, karena ekonomi digital sangat inklusif dan dapat diterapkan ke berbagai sektor.
“Prinsip Ekonomi Digital, bagaimana membangun ekonomi kerakyatan yang inklusif,” kata Heru, Rabu (23/11).
Saat ini, 40 persen pangsa pasar ekonomi digital ASEAN berada di Indonesia. Nilai transaksi ekonomi digital Indonesia diprediksi mampu mencapai 130 miliar dolar AS pada 2025, dan akan terus naik hingga 360 miliar dolar AS pada 2030.
Heru mengatakan, sangat mungkin di masa depan ekonomi digital menjadi tulang punggung perekonomian Indonesia.
“Bisa karena banyak produksi dan diperkirakan Indonesia akan menjadi negara ekonomi digital terbesar. Tidak hanya di Asia Tenggara dan besar di Asia. Bahkan, Indonesia bisa menjadi digital hub di dunia,” ungkap Heru.
Menurutnya, pada KTT G20, pemerintah menyampaikan pada dunia, bahwa transformasi digital diperlukan dan harus menjadi kenyataan. Saat ini, sektor yang masih bertumbuh dalam ekonomi digital adalah e-commerce, keuangan, kesehatan dan pendidikan.
Dia mencontohkan, pertumbuhan luar biasa dari e-commerce kurang terasa manfaatnya bagi perekonomian jika kita hanya menjadi pasarnya.
“E-Commerce berkembang jika produknya dibuat atau dihasilkan dari dalam negeri. Kalau kita hanya mengimpor untuk produk e-commerce, kita hanya jadi pasar, itupun kalau dapat, bagian tidak besar,” sebut Heru.
Maka, kata dia, dengan potensi dan ketersediaan sumber daya di Indonesia yang begitu besar, harus diperhatikan, ekonomi digital yang dikembangkan apa saja. Apakah ini faktor penunjang atau menjadi bagian ekonomi digital itu sendiri.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengungkapkan 40 persen pangsa pasar ekonomi digital ASEAN berada di Indonesia. Nilai transaksi ekonomi digital Indonesia diprediksi mampu mencapai 130 miliar dolar AS pada 2025, dan akan terus naik hingga 360 miliar dolar AS pada 2030.
Potensi tersebut harus didukung dengan penguatan sejumlah aspek fundamental seperti Infrastruktur, SDM digital, serta regulasi dan kebijakan yang adaptif, agile, dan forward looking.
“Pembangunan infrastruktur pada Lapisan Backbone (Jaringan Palapa Ring); Lapisan Middle-mile (Satelit Satria dan Satelit Low Earth Orbit), dan Lapisan Last-mile (Base Transceiver Station/BTS) juga harus kita percepat serta kita tingkatkan utilisasinya,” papar Airlangga.
Ekosistem Digital
Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad mengungkapkan, potensi ekonomi digital harus ditindaklanjuti dengan sejumlah hal. Agar Indonesia tidak hanya menjadi penonton dari perkembangan pesat ekonomi digital dalam negeri.
“Sederhananya, nilai ekonominya tinggi tapi yang mendapat manfaat bukan kita,” terangnya.
Menurutnya, hal yang patut dilakukan adalah memindahkan pusat data ekonomi digital ke dalam negeri. Artinya, sebagian besar pusat data ekonomi digital yang menggunakan aplikasi dari luar negeri dan saat ini belum berada di Indonesia, harus dipindah ke dalam negeri.
“Yang pertama tentu saja pusat data. Pusat data itu sebagian besar masih di luar. Itu harus di dalam negeri. Jangan di negara investor,” jelas Tauhid.
Kedua, alih teknologi dalam bidang ekonomi digital juga harus dilakukan. Hal itu berkenaan dengan peningkatan kualitas dan kapasitas sumber daya manusia (SDM) untuk bisa berkarya dalam ekonomi digital.
Menurutnya, alih teknologi harus dilakukan. Apakah dengan menyiapkan SDM kemudian kemampuan atau kapasitas untuk menyerap dan sebagainya.
“Ini kan yang paling besar misalnya e-commerce, travel online, kalau game dan sebagainya lebih kecil ya,” tambahnya.
Selain itu, penguatan produk lokal juga wajib digenjot agar bisa bersaing dengan produk digital luar negeri.
Ketiga, penguatan produk-produk lokal. Karena sebagian impor juga masih tinggi. “Lokalnya yang kita belum mampu bersaing. Misalnya elektronik, lisensi, gim, video, dan sebagainya,” ungkapnya.
Selanjutnya, pemerintah juga harus menyediakan perangkat regulasi yang mendukung perkembangan ekosistem ekonomi digital. Pemerintah harus menyediakan infrastruktur yang mampu menjangkau seluruh pelosok Indonesia.
“Agar ini bisa menjangkau seluruh wilayah, yang penting ya infrastruktur digital. Kita kesenjangannya masih tinggi,” pungkasnya.■
]]> Pengamat ekonomi digital Heru Sutadi mengatakan, ekonomi digital bisa menjadi tulang punggung perekonomian Indonesia di masa depan. Terlebih, karena ekonomi digital sangat inklusif dan dapat diterapkan ke berbagai sektor.
“Prinsip Ekonomi Digital, bagaimana membangun ekonomi kerakyatan yang inklusif,” kata Heru, Rabu (23/11).
Saat ini, 40 persen pangsa pasar ekonomi digital ASEAN berada di Indonesia. Nilai transaksi ekonomi digital Indonesia diprediksi mampu mencapai 130 miliar dolar AS pada 2025, dan akan terus naik hingga 360 miliar dolar AS pada 2030.
Heru mengatakan, sangat mungkin di masa depan ekonomi digital menjadi tulang punggung perekonomian Indonesia.
“Bisa karena banyak produksi dan diperkirakan Indonesia akan menjadi negara ekonomi digital terbesar. Tidak hanya di Asia Tenggara dan besar di Asia. Bahkan, Indonesia bisa menjadi digital hub di dunia,” ungkap Heru.
Menurutnya, pada KTT G20, pemerintah menyampaikan pada dunia, bahwa transformasi digital diperlukan dan harus menjadi kenyataan. Saat ini, sektor yang masih bertumbuh dalam ekonomi digital adalah e-commerce, keuangan, kesehatan dan pendidikan.
Dia mencontohkan, pertumbuhan luar biasa dari e-commerce kurang terasa manfaatnya bagi perekonomian jika kita hanya menjadi pasarnya.
“E-Commerce berkembang jika produknya dibuat atau dihasilkan dari dalam negeri. Kalau kita hanya mengimpor untuk produk e-commerce, kita hanya jadi pasar, itupun kalau dapat, bagian tidak besar,” sebut Heru.
Maka, kata dia, dengan potensi dan ketersediaan sumber daya di Indonesia yang begitu besar, harus diperhatikan, ekonomi digital yang dikembangkan apa saja. Apakah ini faktor penunjang atau menjadi bagian ekonomi digital itu sendiri.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengungkapkan 40 persen pangsa pasar ekonomi digital ASEAN berada di Indonesia. Nilai transaksi ekonomi digital Indonesia diprediksi mampu mencapai 130 miliar dolar AS pada 2025, dan akan terus naik hingga 360 miliar dolar AS pada 2030.
Potensi tersebut harus didukung dengan penguatan sejumlah aspek fundamental seperti Infrastruktur, SDM digital, serta regulasi dan kebijakan yang adaptif, agile, dan forward looking.
“Pembangunan infrastruktur pada Lapisan Backbone (Jaringan Palapa Ring); Lapisan Middle-mile (Satelit Satria dan Satelit Low Earth Orbit), dan Lapisan Last-mile (Base Transceiver Station/BTS) juga harus kita percepat serta kita tingkatkan utilisasinya,” papar Airlangga.
Ekosistem Digital
Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad mengungkapkan, potensi ekonomi digital harus ditindaklanjuti dengan sejumlah hal. Agar Indonesia tidak hanya menjadi penonton dari perkembangan pesat ekonomi digital dalam negeri.
“Sederhananya, nilai ekonominya tinggi tapi yang mendapat manfaat bukan kita,” terangnya.
Menurutnya, hal yang patut dilakukan adalah memindahkan pusat data ekonomi digital ke dalam negeri. Artinya, sebagian besar pusat data ekonomi digital yang menggunakan aplikasi dari luar negeri dan saat ini belum berada di Indonesia, harus dipindah ke dalam negeri.
“Yang pertama tentu saja pusat data. Pusat data itu sebagian besar masih di luar. Itu harus di dalam negeri. Jangan di negara investor,” jelas Tauhid.
Kedua, alih teknologi dalam bidang ekonomi digital juga harus dilakukan. Hal itu berkenaan dengan peningkatan kualitas dan kapasitas sumber daya manusia (SDM) untuk bisa berkarya dalam ekonomi digital.
Menurutnya, alih teknologi harus dilakukan. Apakah dengan menyiapkan SDM kemudian kemampuan atau kapasitas untuk menyerap dan sebagainya.
“Ini kan yang paling besar misalnya e-commerce, travel online, kalau game dan sebagainya lebih kecil ya,” tambahnya.
Selain itu, penguatan produk lokal juga wajib digenjot agar bisa bersaing dengan produk digital luar negeri.
Ketiga, penguatan produk-produk lokal. Karena sebagian impor juga masih tinggi. “Lokalnya yang kita belum mampu bersaing. Misalnya elektronik, lisensi, gim, video, dan sebagainya,” ungkapnya.
Selanjutnya, pemerintah juga harus menyediakan perangkat regulasi yang mendukung perkembangan ekosistem ekonomi digital. Pemerintah harus menyediakan infrastruktur yang mampu menjangkau seluruh pelosok Indonesia.
“Agar ini bisa menjangkau seluruh wilayah, yang penting ya infrastruktur digital. Kita kesenjangannya masih tinggi,” pungkasnya.■
]]> . Sumber : Rakyat Merdeka – RM.ID .