Edukasi Gizi YAICI-Muslimat NU Jangkau Locus Stunting Tertinggi Di Indonesia

Sebanyak lima kabupaten di Nusa Tenggara (NTT) masuk dalam prevalensi sepuluh daerah dengan angka stunting tertinggi dari 246 kabupaten/kota yang menjadi prioritas percepatan penurunan stunting di Indonesia. Kelima kabupaten tersebut adalah Timor Tengah Selatan, Timor Tengah Utara, Alor, Sumba Barat Daya, dan Manggarai Timur.

Studi Status Gizi Indonesia (SSGI) 2021 menyebutkan, kabupaten/kota dengan prevalensi stunting tertinggi adalah Timor Tengah Selatan (48,3 persen) dan Timor Tengah Utara (46,7 persen). Dengan kata lain, sebanyak 48 dari 100 anak di Timor Tengah Selatan dan sebanyak 46 dari 100 anak di Timor Tengah Utara mengalami stunting. Angka ini lebih tinggi dua kali lipat dari ambang batas kejadian stunting yang ditetapkan WHO, yaitu 20 persen.

Dalam rangka mendukung percepatan penurunan prevalensi stunting dan meningkatkan jangkauan edukasi gizi, Yayasan Abhipraya Insan Cendekia Indonesia (YAICI) bekerja sama dengan mitra lembaga masyarakat maupun institusi pendidikan. Salah satunya dengan PP Muslimat NU. Edukasi dilakukan dengan memberikan pembekalan mengenai kebutuhan gizi keluarga, isi piringku, serta makanan tinggi kandungan gula yang dapat mengganggu tumbuh kembang anak seperti penyalahgunaan susu kental manis.

Ketua Harian YAICI Arif Hidayat mengatakan, sebagai organisasi masyarakat, pihaknya bekerja sejalan dengan strategi yang ditetapkan Pemerintah. Oleh karena itu, target wilayah yang menjadi sasaran edukasi YAICI pun mengacu pada locus stunting yang menjadi prioritas penanganan stunting yang ditetapkan Pemerintah, yaitu Nusa Tenggara Timur, yang dilakukan pada 16-19 Maret 2022.

“Kami telah melakukan edukasi dengan memberikan pembekalan terhadap kader PP Muslimat NU di Kota Kupang, di So’e, Timur Tengah Selatan, dan juga di Kota Kefamenanu, Timur Tengah Utara. Selain pembekalan, kami juga melakukan penelusuran langsung ke rumah-rumah penduduk yang memiliki balita yang terindikasi kurang gizi, gagal tumbuh maupun stunting untuk menggali faktor-faktor yang mempengaruhi dan bagaimana asupan gizi keluarga,” jelas Arif, dalam keterangan yang diterima redaksi, Rabu (30/3).

Berdasarkan temuan lapangan, Arif menyimpulkan, yang menjadi permasalahan adalah kurangnya perhatian orang tua terhadap asupan anak sehari-hari. Di Kupang, banyak orang tua yang bekerja di daerah lain. Kemudian anak dititipkan ke nenek atau keluarga lainnya yang mereka juga minim edukasi. Sementara, di Timor Tengah Utara dan Timor Tengah Selatan, memang ada faktor geografis wilayahnya serta akses masyarakat terhadap layanan kesehatan.

“Yang menarik adalah, meskipun masyarakat mengalami kesulitan mendapatkan bahan pangan yang bergizi seperti ikan dan telur, namun anak-anak balita di sana sudah terbiasa mengkonsumsi makanan minuman ringan seperti teh kemasan dan juga sehari-hari minum susu kental manis,” papar Arif.

Arif mengingatkan, mengatasi stunting tidak selesai hanya dengan bantuan pangan. Masing-masing daerah memiliki karakteristik sehingga dalam mengatasi kejadian stunting diperlukan pendekatan berbasis daerah dan sinergitas dengan masyarakat setempat. Salah satunya dengan menggerakkan kader-kader penyuluh kesehatan masyarakat di wilayah tersebut.

 

“Hingga saat ini, kami telah memberikan pembekalan terhadap lebih dari 10 ribu kader PP Muslimat NU. Mereka siap meneruskan lagi pengetahuan tersebut ke masyarakat dan lingkungan sekitarnya, melalui kegiatan-kegiatan berbasis sosial dan keagamaan yang rutin dilakukan Muslimat NU,” bebernya.

Ketua PCNU Kabupaten Timor Tengah Selatan Muhammad G Arifudin mengakui. sanitasi dan asupan gizi keluarga menjadi pemicu tingginya angka gizi buruk di wilayahnya. Kalau dilihat saat ini, memang NTT ini hijau, karena saat ini sedang musim hujan. Saat nanti musim kemarau, akan terlihat merah dan saat itulah masyarakat akan kesulitan air. “Ini juga erat kaitannya dengan kemiskinan, anak makan seadanya, termasuk minum susu kental manis. Di sini, itulah susu yang dikonsumsi anak-anak,” jelas Sekretaris MUI NTT ini.

Tingginya angka stunting ini menjadi perhatian khusus Dinas Kesehatan Kota Kupang. Dalam edukasi yang dilakukan di Kota Kupang, Riris Yunita Damanik dari Dinas Kesehatan Kota Kupang, mengatakan sudah seharusnya edukasi gizi menjadi prioritas di NTT, mengingat angka kejadian stunting masih sangat tinggi. Selain itu kebiasaan-kebiasaan masyarakat terkait gizi anak memang mengkhawatirkan.

“Masih banyak anak yang belum 6 bulan tapi sudah diberi pisang dan bubur. Juga yang menjadi persoalan adalah ibu-ibu lebih suka memberi MPASI untuk anak berupa bubur instan. Padahal banyak sumber pangan yang bisa diolah. Untuk susu kental manis, masyarakat masih terbiasa menggunakannya sebagai minuman susu untuk anak,” kata Riris Yunita Damanik.

Riris akan mendorong institusinya agar perhatian terhadap edukasi mengenai cara konsumsi susu kental manis menjadi perhatian dinas setempat, karena selama ini belum ada sosialisasi mengenai bahaya konsumsi kental manis.

Senada dengan itu, Ketua Bidang Kesehatan PP Muslimat NU Erna Yulia Soefihara, mengatakan pihaknya akan terus menyampaikan edukasi mengenai gizi kepada masyarakat terutama kader-kader NU. Sebab, pemahaman mengenai gizi berkaitan langsung dengan kesehatan anak dalam keluarga. “Saat anak terkena stunting, yang pertama kali terganggu itu adalah otak anak. Begitu anak lahir, otak anak tidak berkembang sebagaimana mestinya,” jelas Erna.

Sebelumnya, PP Muslimat NU bersama YAICI juga telah melakukan edukasi dan penelusuran lapangan di sejumlah kota di Indonesia. Di antaranya kota-kota di Jawa Timur, Sulawesi Tenggara, Yogyakarta, Maluku, hingga Kepulauan Riau.

Erna menambahkan, selain di Kupang, PP Muslimat NU bersama YAICI juga telah melakukan edukasi di Jawa Timur, yakni di Banyuwangi dan Sidoarjo. Erna menegaskan, edukasi ini untuk membatasi konsumsi gula harian. “Gula adalah media yang paling disenangi sel-sel kanker. Jadi, sebaiknya konsumsi makanan minuman tinggi gula ini sebaiknya dihindari. Makanya penderita kanker sebaiknya membatasi konsumsi gula, apalagi susu kental manis, ini sangat disukai oleh sel-sel kanker untuk tumbuh,” pungkas Erna. [SAR]

]]> Sebanyak lima kabupaten di Nusa Tenggara (NTT) masuk dalam prevalensi sepuluh daerah dengan angka stunting tertinggi dari 246 kabupaten/kota yang menjadi prioritas percepatan penurunan stunting di Indonesia. Kelima kabupaten tersebut adalah Timor Tengah Selatan, Timor Tengah Utara, Alor, Sumba Barat Daya, dan Manggarai Timur.

Studi Status Gizi Indonesia (SSGI) 2021 menyebutkan, kabupaten/kota dengan prevalensi stunting tertinggi adalah Timor Tengah Selatan (48,3 persen) dan Timor Tengah Utara (46,7 persen). Dengan kata lain, sebanyak 48 dari 100 anak di Timor Tengah Selatan dan sebanyak 46 dari 100 anak di Timor Tengah Utara mengalami stunting. Angka ini lebih tinggi dua kali lipat dari ambang batas kejadian stunting yang ditetapkan WHO, yaitu 20 persen.

Dalam rangka mendukung percepatan penurunan prevalensi stunting dan meningkatkan jangkauan edukasi gizi, Yayasan Abhipraya Insan Cendekia Indonesia (YAICI) bekerja sama dengan mitra lembaga masyarakat maupun institusi pendidikan. Salah satunya dengan PP Muslimat NU. Edukasi dilakukan dengan memberikan pembekalan mengenai kebutuhan gizi keluarga, isi piringku, serta makanan tinggi kandungan gula yang dapat mengganggu tumbuh kembang anak seperti penyalahgunaan susu kental manis.

Ketua Harian YAICI Arif Hidayat mengatakan, sebagai organisasi masyarakat, pihaknya bekerja sejalan dengan strategi yang ditetapkan Pemerintah. Oleh karena itu, target wilayah yang menjadi sasaran edukasi YAICI pun mengacu pada locus stunting yang menjadi prioritas penanganan stunting yang ditetapkan Pemerintah, yaitu Nusa Tenggara Timur, yang dilakukan pada 16-19 Maret 2022.

“Kami telah melakukan edukasi dengan memberikan pembekalan terhadap kader PP Muslimat NU di Kota Kupang, di So’e, Timur Tengah Selatan, dan juga di Kota Kefamenanu, Timur Tengah Utara. Selain pembekalan, kami juga melakukan penelusuran langsung ke rumah-rumah penduduk yang memiliki balita yang terindikasi kurang gizi, gagal tumbuh maupun stunting untuk menggali faktor-faktor yang mempengaruhi dan bagaimana asupan gizi keluarga,” jelas Arif, dalam keterangan yang diterima redaksi, Rabu (30/3).

Berdasarkan temuan lapangan, Arif menyimpulkan, yang menjadi permasalahan adalah kurangnya perhatian orang tua terhadap asupan anak sehari-hari. Di Kupang, banyak orang tua yang bekerja di daerah lain. Kemudian anak dititipkan ke nenek atau keluarga lainnya yang mereka juga minim edukasi. Sementara, di Timor Tengah Utara dan Timor Tengah Selatan, memang ada faktor geografis wilayahnya serta akses masyarakat terhadap layanan kesehatan.

“Yang menarik adalah, meskipun masyarakat mengalami kesulitan mendapatkan bahan pangan yang bergizi seperti ikan dan telur, namun anak-anak balita di sana sudah terbiasa mengkonsumsi makanan minuman ringan seperti teh kemasan dan juga sehari-hari minum susu kental manis,” papar Arif.

Arif mengingatkan, mengatasi stunting tidak selesai hanya dengan bantuan pangan. Masing-masing daerah memiliki karakteristik sehingga dalam mengatasi kejadian stunting diperlukan pendekatan berbasis daerah dan sinergitas dengan masyarakat setempat. Salah satunya dengan menggerakkan kader-kader penyuluh kesehatan masyarakat di wilayah tersebut.

 

“Hingga saat ini, kami telah memberikan pembekalan terhadap lebih dari 10 ribu kader PP Muslimat NU. Mereka siap meneruskan lagi pengetahuan tersebut ke masyarakat dan lingkungan sekitarnya, melalui kegiatan-kegiatan berbasis sosial dan keagamaan yang rutin dilakukan Muslimat NU,” bebernya.

Ketua PCNU Kabupaten Timor Tengah Selatan Muhammad G Arifudin mengakui. sanitasi dan asupan gizi keluarga menjadi pemicu tingginya angka gizi buruk di wilayahnya. Kalau dilihat saat ini, memang NTT ini hijau, karena saat ini sedang musim hujan. Saat nanti musim kemarau, akan terlihat merah dan saat itulah masyarakat akan kesulitan air. “Ini juga erat kaitannya dengan kemiskinan, anak makan seadanya, termasuk minum susu kental manis. Di sini, itulah susu yang dikonsumsi anak-anak,” jelas Sekretaris MUI NTT ini.

Tingginya angka stunting ini menjadi perhatian khusus Dinas Kesehatan Kota Kupang. Dalam edukasi yang dilakukan di Kota Kupang, Riris Yunita Damanik dari Dinas Kesehatan Kota Kupang, mengatakan sudah seharusnya edukasi gizi menjadi prioritas di NTT, mengingat angka kejadian stunting masih sangat tinggi. Selain itu kebiasaan-kebiasaan masyarakat terkait gizi anak memang mengkhawatirkan.

“Masih banyak anak yang belum 6 bulan tapi sudah diberi pisang dan bubur. Juga yang menjadi persoalan adalah ibu-ibu lebih suka memberi MPASI untuk anak berupa bubur instan. Padahal banyak sumber pangan yang bisa diolah. Untuk susu kental manis, masyarakat masih terbiasa menggunakannya sebagai minuman susu untuk anak,” kata Riris Yunita Damanik.

Riris akan mendorong institusinya agar perhatian terhadap edukasi mengenai cara konsumsi susu kental manis menjadi perhatian dinas setempat, karena selama ini belum ada sosialisasi mengenai bahaya konsumsi kental manis.

Senada dengan itu, Ketua Bidang Kesehatan PP Muslimat NU Erna Yulia Soefihara, mengatakan pihaknya akan terus menyampaikan edukasi mengenai gizi kepada masyarakat terutama kader-kader NU. Sebab, pemahaman mengenai gizi berkaitan langsung dengan kesehatan anak dalam keluarga. “Saat anak terkena stunting, yang pertama kali terganggu itu adalah otak anak. Begitu anak lahir, otak anak tidak berkembang sebagaimana mestinya,” jelas Erna.

Sebelumnya, PP Muslimat NU bersama YAICI juga telah melakukan edukasi dan penelusuran lapangan di sejumlah kota di Indonesia. Di antaranya kota-kota di Jawa Timur, Sulawesi Tenggara, Yogyakarta, Maluku, hingga Kepulauan Riau.

Erna menambahkan, selain di Kupang, PP Muslimat NU bersama YAICI juga telah melakukan edukasi di Jawa Timur, yakni di Banyuwangi dan Sidoarjo. Erna menegaskan, edukasi ini untuk membatasi konsumsi gula harian. “Gula adalah media yang paling disenangi sel-sel kanker. Jadi, sebaiknya konsumsi makanan minuman tinggi gula ini sebaiknya dihindari. Makanya penderita kanker sebaiknya membatasi konsumsi gula, apalagi susu kental manis, ini sangat disukai oleh sel-sel kanker untuk tumbuh,” pungkas Erna. [SAR]
]]> . Sumber : Rakyat Merdeka – RM.ID .

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Categories