DPRD DKI Desak Evaluasi Peralatan Damkar Robot Kroasia Tak Efektif Jinakkan Si Jago Merah .
Politisi Kebon Sirih mendesak Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta mengevaluasi peralatan pemadam kebakaran (Damkar). Sebab, saat ini keberadaannya belum mampu menopang kebutuhan di lapangan. Akibatnya, pemadaman api lambat sehingga tidak optimal meminimalisir kerugian.
Anggota Komisi A DPRD DKI Jakarta, Lukmanul Hakim mengatakan, peralatan dan perlengkapan Dinas Penanggulangan Kebakaran dan Penyelamatan (Gulkarmat) harus dievaluasi. Karena, meskipun, sudah banyak peralatan canggih, namun keberadaannya tidak memadai untuk menjangkau lokasi padat penduduk.
“Setiap ada kebakaran, selalu hangus semua, akibat kebakaran merembet. Ini kan berarti penanganan belum benar. Harusnya Gulkarmat bisa lebih cermat membeli alat untuk memadamkan api, terutama di wilayah kumuh padat penduduk,” ujar Lukmanul di gedung DPRD DKI Jakarta, Senin (26/4).
Dia mencontohkan robot Dok-Ing MVF-5 U3 asal Kroasia, alat damkar yang memiliki sistem robotik multiguna berbasis remote yang dibeli Dinas Gulkarmat DKI, ternyata tidak efektif karena belum mampu menjangkau pemukiman padat penduduk.
Karena, ketika robot damkar mau ke lokasi yang padat penduduk, mobil tidak sampai. Itu bisa dilihat seperti kebakaran di Tamansari dan Jatinegara.
“Karena penanganan lambat, akhirnya menimbulkan korban jiwa,” ungkapnya.
Seperti diketahui, pada Minggu (18/4), terjadi kebakaran di pemukiman padat penduduk di Taman Sari, Jakarta Barat. Pada musibah ini, si Jago Merah melalap 198 rumah. Akibat kejadian ini, sebanyak 1.200 orang warga terpaksa tinggal di pengungsian.
Anggota Komisi A DPRD lainnya, Syarifudin juga menilai, pemadaman api oleh petugas Gulkarmat DKI tidak maksimal. Kinerja mereka stagnan.
“Sejauh ini kita lihatnya masih sama seperti tahun lalu. Kebakaran di DKI masih banyak terjadi dan penyelesaiannya tidak maksimal,” ujarnya.
Dia meminta, Dinas Gulkarmat membuat terobosan untuk memperkecil ruang lingkup kebakaran. Menurutnya, untuk cepat melakukan pemadaman api, yang diperlukan masyarakat alat yang cepat dan mudah digunakan.
Misalnya, untuk lokasi padat penduduk, Pemprov DKI memfasilitas alat pemadam api ringan (Apar). Selain itu, dia menekannya pentingnya sosialisasi pencegahan kebakaran kepada masyarakat.
Kepala Dinas Gulkarmat DKI Jakarta, Satriadi Gunawan mengakui, pihaknya menghadapi hambatan ketika ingin memadamkan kebakaran di pemukiman padat penduduk. Karena, jalan tidak bisa dilalui mobil pemadam kebakaran.
“Pada saat kita masuk ke lokasi kebakaran memang sangat sempit, itu hambatannya. Tapi kalau soal response time atau kecepatan kita menangani kebakaran dari pos ke lokasi kebakaran sudah sangat baik. Harusnya 15 menit, tapi kita di bawah 10 menit sudah sampai,” ungkapnya.
Soal usulan agar warga diberikan fasilitas Apar, Satriadi mengatakan, belum bisa memenuhinya karena terhambat regulasi pemeliharaan. Untuk meningkatkankan upaya pemadaman, lanjutnya, Dinas Gulkarmat pun akan membentuk barisan relawan kebakaran (Balakar) di tingkat RT dan RW, terutama wilayah padat penduduk. Setelah mereka terbentuk, baru Pemprov DKI bisa memfasilitasi Apar. Sebab, Balakar nanti yang bisa berperan melakukan pemeliharaan alat.
Kelebihan Bayar
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengendus adanya kejanggalan dalam pembayaran empat paket pengadaan alat pemadam kebakaran DKI. Hasil pemeriksaan BPK menyebutkan, ada kelebihan pembayaran senilai Rp 6,5 miliar.
Kelebihan Rp 6,5 miliar itu untuk pengadaan empat paket pengadaan mobil pemadam yang terungkap dalam hasil laporan pemeriksaan BPK atas laporan keuangan Pemprov DKI Jakarta Tahun 2019. Empat paket yang disebutkan itu antara lain unit submersible, unit quick response, unit penanggulangan kebakaran pada sarana transportasi massal, dan unit pengurai material kebakaran.
Untuk unit submersible ini pelaksananya adalah PT IA, unit quick response PT IA, unit penanggulangan kebakaran pada saran transportasi massal adalah PT ND, dan unit pengurai material kebakaran pelaksananya PT LW. Hasil pemeriksaan atas proses lelang tersebut, BPK menemukan sejumlah permasalahan.
Pertama terkait HPS (harga perkiraan sendiri) yang tidak berdasarkan data yang bisa dipertanggungjawabkan. “Unit Submersible, dalam penyusunan HPS hanya atas satu survei perusahaan dan tidak terdapat perbandingan harga atas unit tersebut,” tulis BPK.
BPK menemukan pada 25 Maret 2019 diketahui riwayat HPS hanya dilakukan pada satu perusahaan saja, yang diketahui sebagai pemenang lelang atau pelaksana kontrak. Termasuk dalam pengadaan unit quick response yang mana sama-sama dilaksanakan oleh PT IA.
Lalu untuk unit penanggulangan kebakaran pada sarana transportasi massal, berdasarkan riwayat HPS 25 Februari 2019, dilakukan survei atas harga satu unitnya. Pada dokumen itu dilakukan perbandingan atas empat harga yang berasal dari PT ND senilai Rp 8,8 miliar, UFM (LUF 60) senilai Rp 4,2 miliar, Magirus, TAF 20 senilai Rp 9,1 miliar, dan Cosem Rp 5,8 miliar. HPS Rp 8,8 miliar itu disebutkan diajukan oleh PT ND.
BPK mengungkap, dalam empat paket pengadaan itu diketahui penyusunan HPS berdasarkan data dari penyedia.
“Berdasarkan kondisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa penyusunan HPS berindikasi tidak akuntabel dan tidak berasas keadilan. Dan dalam pelaksanaan pengadaan terdapat indikasi konflik kepentingan dikarenakan pengadaan telah mengarah kepada perusahaan tertentu,” tulis BPK.
BPK kemudian melakukan pemeriksaan atas pembayaran item, di mana diketahui harga riil pembelian barang atas empat paket itu lebih rendah dari harga kontrak yang sudah dibayarkan Dinas Penanggulangan Kebakaran dan Penyelamatan DKI. Atas temuan itu, BPK merekomendasikan kepada Gubernur DKI Anies Baswedan untuk menginstruksikan Kepala Dinas Penanggulangan Kebakaran dan Penyelamatan mempertanggung jawabkan kelebihan pembayaran dan menyetorkannya ke kas daerah.
Wakil Gubernur DKI Jakarta, Ahmad Riza Patria mengatakan, pengembalian dana kelebihan bayar pengadaan proyek peralatan pemadam kebakaran Dinas Gulkarmat DKI Jakarta segera diselesaikan.
“Sudah dikembalikan, sisanya tinggal Rp 1,5 miliar sampai Rp 1,6 miliar dan akan diselesaikan oleh pihak swasta dalam minggu-minggu ini,” ujar Riza di Balai Kota Jakarta, Jumat (16/4).
Politisi Gerindra ini mengaku pengembalian uang salah bayar saat pengadaan peralatan pemadam kebakaran senilai Rp 6,5 miliar itu, tergantung kemampuan pihak ketiga yakni vendor penjual alat-alat tersebut.
Pemprov DKI Jakarta, lanjut Riza, tak bisa berlebihan menagih pengembalian anggaran salah bayar itu. Kalau pengembalian anggaran itu tidak bisa dilakukan dalam waktu dekat, pihaknya juga tak bisa menalangi. “Ya itu kan kemampuannya ada di pihak swasta, bukan Pemprov. Seharusnya pihak swasta yang mengembalikan,” kata Riza. [FAQ]
]]> .
Politisi Kebon Sirih mendesak Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta mengevaluasi peralatan pemadam kebakaran (Damkar). Sebab, saat ini keberadaannya belum mampu menopang kebutuhan di lapangan. Akibatnya, pemadaman api lambat sehingga tidak optimal meminimalisir kerugian.
Anggota Komisi A DPRD DKI Jakarta, Lukmanul Hakim mengatakan, peralatan dan perlengkapan Dinas Penanggulangan Kebakaran dan Penyelamatan (Gulkarmat) harus dievaluasi. Karena, meskipun, sudah banyak peralatan canggih, namun keberadaannya tidak memadai untuk menjangkau lokasi padat penduduk.
“Setiap ada kebakaran, selalu hangus semua, akibat kebakaran merembet. Ini kan berarti penanganan belum benar. Harusnya Gulkarmat bisa lebih cermat membeli alat untuk memadamkan api, terutama di wilayah kumuh padat penduduk,” ujar Lukmanul di gedung DPRD DKI Jakarta, Senin (26/4).
Dia mencontohkan robot Dok-Ing MVF-5 U3 asal Kroasia, alat damkar yang memiliki sistem robotik multiguna berbasis remote yang dibeli Dinas Gulkarmat DKI, ternyata tidak efektif karena belum mampu menjangkau pemukiman padat penduduk.
Karena, ketika robot damkar mau ke lokasi yang padat penduduk, mobil tidak sampai. Itu bisa dilihat seperti kebakaran di Tamansari dan Jatinegara.
“Karena penanganan lambat, akhirnya menimbulkan korban jiwa,” ungkapnya.
Seperti diketahui, pada Minggu (18/4), terjadi kebakaran di pemukiman padat penduduk di Taman Sari, Jakarta Barat. Pada musibah ini, si Jago Merah melalap 198 rumah. Akibat kejadian ini, sebanyak 1.200 orang warga terpaksa tinggal di pengungsian.
Anggota Komisi A DPRD lainnya, Syarifudin juga menilai, pemadaman api oleh petugas Gulkarmat DKI tidak maksimal. Kinerja mereka stagnan.
“Sejauh ini kita lihatnya masih sama seperti tahun lalu. Kebakaran di DKI masih banyak terjadi dan penyelesaiannya tidak maksimal,” ujarnya.
Dia meminta, Dinas Gulkarmat membuat terobosan untuk memperkecil ruang lingkup kebakaran. Menurutnya, untuk cepat melakukan pemadaman api, yang diperlukan masyarakat alat yang cepat dan mudah digunakan.
Misalnya, untuk lokasi padat penduduk, Pemprov DKI memfasilitas alat pemadam api ringan (Apar). Selain itu, dia menekannya pentingnya sosialisasi pencegahan kebakaran kepada masyarakat.
Kepala Dinas Gulkarmat DKI Jakarta, Satriadi Gunawan mengakui, pihaknya menghadapi hambatan ketika ingin memadamkan kebakaran di pemukiman padat penduduk. Karena, jalan tidak bisa dilalui mobil pemadam kebakaran.
“Pada saat kita masuk ke lokasi kebakaran memang sangat sempit, itu hambatannya. Tapi kalau soal response time atau kecepatan kita menangani kebakaran dari pos ke lokasi kebakaran sudah sangat baik. Harusnya 15 menit, tapi kita di bawah 10 menit sudah sampai,” ungkapnya.
Soal usulan agar warga diberikan fasilitas Apar, Satriadi mengatakan, belum bisa memenuhinya karena terhambat regulasi pemeliharaan. Untuk meningkatkankan upaya pemadaman, lanjutnya, Dinas Gulkarmat pun akan membentuk barisan relawan kebakaran (Balakar) di tingkat RT dan RW, terutama wilayah padat penduduk. Setelah mereka terbentuk, baru Pemprov DKI bisa memfasilitasi Apar. Sebab, Balakar nanti yang bisa berperan melakukan pemeliharaan alat.
Kelebihan Bayar
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengendus adanya kejanggalan dalam pembayaran empat paket pengadaan alat pemadam kebakaran DKI. Hasil pemeriksaan BPK menyebutkan, ada kelebihan pembayaran senilai Rp 6,5 miliar.
Kelebihan Rp 6,5 miliar itu untuk pengadaan empat paket pengadaan mobil pemadam yang terungkap dalam hasil laporan pemeriksaan BPK atas laporan keuangan Pemprov DKI Jakarta Tahun 2019. Empat paket yang disebutkan itu antara lain unit submersible, unit quick response, unit penanggulangan kebakaran pada sarana transportasi massal, dan unit pengurai material kebakaran.
Untuk unit submersible ini pelaksananya adalah PT IA, unit quick response PT IA, unit penanggulangan kebakaran pada saran transportasi massal adalah PT ND, dan unit pengurai material kebakaran pelaksananya PT LW. Hasil pemeriksaan atas proses lelang tersebut, BPK menemukan sejumlah permasalahan.
Pertama terkait HPS (harga perkiraan sendiri) yang tidak berdasarkan data yang bisa dipertanggungjawabkan. “Unit Submersible, dalam penyusunan HPS hanya atas satu survei perusahaan dan tidak terdapat perbandingan harga atas unit tersebut,” tulis BPK.
BPK menemukan pada 25 Maret 2019 diketahui riwayat HPS hanya dilakukan pada satu perusahaan saja, yang diketahui sebagai pemenang lelang atau pelaksana kontrak. Termasuk dalam pengadaan unit quick response yang mana sama-sama dilaksanakan oleh PT IA.
Lalu untuk unit penanggulangan kebakaran pada sarana transportasi massal, berdasarkan riwayat HPS 25 Februari 2019, dilakukan survei atas harga satu unitnya. Pada dokumen itu dilakukan perbandingan atas empat harga yang berasal dari PT ND senilai Rp 8,8 miliar, UFM (LUF 60) senilai Rp 4,2 miliar, Magirus, TAF 20 senilai Rp 9,1 miliar, dan Cosem Rp 5,8 miliar. HPS Rp 8,8 miliar itu disebutkan diajukan oleh PT ND.
BPK mengungkap, dalam empat paket pengadaan itu diketahui penyusunan HPS berdasarkan data dari penyedia.
“Berdasarkan kondisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa penyusunan HPS berindikasi tidak akuntabel dan tidak berasas keadilan. Dan dalam pelaksanaan pengadaan terdapat indikasi konflik kepentingan dikarenakan pengadaan telah mengarah kepada perusahaan tertentu,” tulis BPK.
BPK kemudian melakukan pemeriksaan atas pembayaran item, di mana diketahui harga riil pembelian barang atas empat paket itu lebih rendah dari harga kontrak yang sudah dibayarkan Dinas Penanggulangan Kebakaran dan Penyelamatan DKI. Atas temuan itu, BPK merekomendasikan kepada Gubernur DKI Anies Baswedan untuk menginstruksikan Kepala Dinas Penanggulangan Kebakaran dan Penyelamatan mempertanggung jawabkan kelebihan pembayaran dan menyetorkannya ke kas daerah.
Wakil Gubernur DKI Jakarta, Ahmad Riza Patria mengatakan, pengembalian dana kelebihan bayar pengadaan proyek peralatan pemadam kebakaran Dinas Gulkarmat DKI Jakarta segera diselesaikan.
“Sudah dikembalikan, sisanya tinggal Rp 1,5 miliar sampai Rp 1,6 miliar dan akan diselesaikan oleh pihak swasta dalam minggu-minggu ini,” ujar Riza di Balai Kota Jakarta, Jumat (16/4).
Politisi Gerindra ini mengaku pengembalian uang salah bayar saat pengadaan peralatan pemadam kebakaran senilai Rp 6,5 miliar itu, tergantung kemampuan pihak ketiga yakni vendor penjual alat-alat tersebut.
Pemprov DKI Jakarta, lanjut Riza, tak bisa berlebihan menagih pengembalian anggaran salah bayar itu. Kalau pengembalian anggaran itu tidak bisa dilakukan dalam waktu dekat, pihaknya juga tak bisa menalangi. “Ya itu kan kemampuannya ada di pihak swasta, bukan Pemprov. Seharusnya pihak swasta yang mengembalikan,” kata Riza. [FAQ]
]]> .
Sumber : Rakyat Merdeka – RM.ID .