DP Nol Persen Bagus, Tapi Masih Kurang Nendang Kerek Penjualan Properti

Kebijakan Bank Indonesia (BI) yang melonggarkan uang muka atau Down Payment (DP) nol persen dinilai memiliki daya katrol yang tak cukup tinggi untuk mendongkrak sektor properti di saat pandemi Covid-19. Biar makin nendang, pemerintah memberikan insentif pajak.

Begitu dikatakan Pengamat Properti sekaligus CEO Indonesia Property Watch (IPW) Ali Tranghanda, kepada RM.id, Sabtu (20/2).

Menurut Ali, satu sisi kebijakan BI ini menunjukkan bahwa pemerintah berusaha keras untuk dapat menggerakan sektor properti lebih kencang lagi. Tetapi, untuk beberapa alasan, kebijakan ini diperkirakan masih belum dapat sepenuhnya mengangkat sektor properti.

“Dengan pembelian properti tanpa uang muka, pastinya akan berdampak dan berpotensi untuk meningkatkan minat membeli properti, itu dalam kondisi normal, kalau sekarang mungkin belum,” katanya.

Ia menegaskan, saat normal, daya beli masyarakat di semua golongan masih cukup terjaga, kebijakan tanpa uang muka ini akan sangat membantu meningkatkan minat masyarakat untuk membeli properti. Namun demikian dalam kondisi saat ini, minat saja tidak cukup dan harus diimbangi dengan daya beli. 

Ia melihat, sebagian besar golongan masyarakat menengah-bawah lebih memilih untuk memenuhi kebutuhan lain sebelum memilih untuk untuk membeli properti seperti kebutuhan pokok. Sementara golongan masyarakat menengah-atas, justru besaran uang muka tidak menjadi isu terpenting dalam membeli properti, karena berdasarkan daya beli seharusnya mereka masih sanggup untuk membayar uang muka. 

“Apalagi saat ini sudah mulai banyak pengembang yang melakukan strategi penjualan properti tanpa uang muka,” katanya.

Ali menambahkan, saat ini daya beli masyarakat menengah-atas relatif masih cukup baik meskipun terganggu. Sebagian masih menyimpan uangnya di bank dan menunda pembeli properti. 

Dari analisis yang dilakukan IPW diperlihatkan, penjualan properti yang masih mengalami kenaikan dibandingkan tahun 2019 berada di segmen harga Rp 500 juta-Rp 2 miliar, sedangkan di segmen lebih dari Rp 2 miliar meskipun mengalami penurunan namun bukan berarti tidak memiliki daya beli. “Sebagian besar menunda pembeli properti,” ujarnya.

 

Insentif Pajak

Untuk itu, ia bersama Real Estat Indonesia (REI) mengusulkan, daya dongkrak properti lebih kepada pemberian insentif terkait pengurangan pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dari saat ini 5 persen menjadi 2,5 persen seperti yang diusulkan IPW, atau bahkan ditambah  pengurangan PPN 10 persen yang diusulkan REI.

Ali meyakini, adanya pengurangan biaya ini, konsumen properti akan lebih tertarik untuk menyimpan uangnya di properti karena secara nilai transaksi lebih rendah dari kondisi normal. 

“Tentunya pengurangan ini tidak harus diberlakukan selamanya jika memang pemerintah keberatan. Namun paling tidak dalam 1 tahun ke depan, strategi relaksasi ini yang akan membuat pasar properti lebih nendang, terutama di kondisi pandemi seperti saat ini,” usulnya.

Ia menegaskan, adanya gabungan kebijakan LTV (Loan to Value) dan FTV (Financing to Value), penurunan suku bunga, dan pengurangan biaya-biaya pajak dan BPHTB akan memberikan daya dorong yang sangat signifikan untuk dapat mengubah perilaku pasar konsumen, untuk membeli properti sehingga dapat menggerakan sektor industri ini secara luar biasa. 

Seperti diketahui, pada Kamis (18/2), BI mengeluarkan kebijakan LTV/FTV sebesar 100 persen, yang berarti masyarakat tidak perlu mengeluarkan uang muka untuk pembelian properti dan ditanggung oleh bank. Dibarengi dengan penurunan BI Rate 7-Day Repo menjadi 3,5 persen. [DWI]

]]> Kebijakan Bank Indonesia (BI) yang melonggarkan uang muka atau Down Payment (DP) nol persen dinilai memiliki daya katrol yang tak cukup tinggi untuk mendongkrak sektor properti di saat pandemi Covid-19. Biar makin nendang, pemerintah memberikan insentif pajak.

Begitu dikatakan Pengamat Properti sekaligus CEO Indonesia Property Watch (IPW) Ali Tranghanda, kepada RM.id, Sabtu (20/2).

Menurut Ali, satu sisi kebijakan BI ini menunjukkan bahwa pemerintah berusaha keras untuk dapat menggerakan sektor properti lebih kencang lagi. Tetapi, untuk beberapa alasan, kebijakan ini diperkirakan masih belum dapat sepenuhnya mengangkat sektor properti.

“Dengan pembelian properti tanpa uang muka, pastinya akan berdampak dan berpotensi untuk meningkatkan minat membeli properti, itu dalam kondisi normal, kalau sekarang mungkin belum,” katanya.

Ia menegaskan, saat normal, daya beli masyarakat di semua golongan masih cukup terjaga, kebijakan tanpa uang muka ini akan sangat membantu meningkatkan minat masyarakat untuk membeli properti. Namun demikian dalam kondisi saat ini, minat saja tidak cukup dan harus diimbangi dengan daya beli. 

Ia melihat, sebagian besar golongan masyarakat menengah-bawah lebih memilih untuk memenuhi kebutuhan lain sebelum memilih untuk untuk membeli properti seperti kebutuhan pokok. Sementara golongan masyarakat menengah-atas, justru besaran uang muka tidak menjadi isu terpenting dalam membeli properti, karena berdasarkan daya beli seharusnya mereka masih sanggup untuk membayar uang muka. 

“Apalagi saat ini sudah mulai banyak pengembang yang melakukan strategi penjualan properti tanpa uang muka,” katanya.

Ali menambahkan, saat ini daya beli masyarakat menengah-atas relatif masih cukup baik meskipun terganggu. Sebagian masih menyimpan uangnya di bank dan menunda pembeli properti. 

Dari analisis yang dilakukan IPW diperlihatkan, penjualan properti yang masih mengalami kenaikan dibandingkan tahun 2019 berada di segmen harga Rp 500 juta-Rp 2 miliar, sedangkan di segmen lebih dari Rp 2 miliar meskipun mengalami penurunan namun bukan berarti tidak memiliki daya beli. “Sebagian besar menunda pembeli properti,” ujarnya.

 

Insentif Pajak

Untuk itu, ia bersama Real Estat Indonesia (REI) mengusulkan, daya dongkrak properti lebih kepada pemberian insentif terkait pengurangan pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dari saat ini 5 persen menjadi 2,5 persen seperti yang diusulkan IPW, atau bahkan ditambah  pengurangan PPN 10 persen yang diusulkan REI.

Ali meyakini, adanya pengurangan biaya ini, konsumen properti akan lebih tertarik untuk menyimpan uangnya di properti karena secara nilai transaksi lebih rendah dari kondisi normal. 

“Tentunya pengurangan ini tidak harus diberlakukan selamanya jika memang pemerintah keberatan. Namun paling tidak dalam 1 tahun ke depan, strategi relaksasi ini yang akan membuat pasar properti lebih nendang, terutama di kondisi pandemi seperti saat ini,” usulnya.

Ia menegaskan, adanya gabungan kebijakan LTV (Loan to Value) dan FTV (Financing to Value), penurunan suku bunga, dan pengurangan biaya-biaya pajak dan BPHTB akan memberikan daya dorong yang sangat signifikan untuk dapat mengubah perilaku pasar konsumen, untuk membeli properti sehingga dapat menggerakan sektor industri ini secara luar biasa. 

Seperti diketahui, pada Kamis (18/2), BI mengeluarkan kebijakan LTV/FTV sebesar 100 persen, yang berarti masyarakat tidak perlu mengeluarkan uang muka untuk pembelian properti dan ditanggung oleh bank. Dibarengi dengan penurunan BI Rate 7-Day Repo menjadi 3,5 persen. [DWI]
]]>.
Sumber : Rakyat Merdeka RM.ID .

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Categories