Diseret Jenderal Di Kasus Djoko Tjandra Yasonna Tidak Takut

Eks Kepala Divisi Hubungan Internasional Polri, Irjen Napoleon Bonaparte menyeret Menteri Hukum dan HAM, Yasonna Laoly dalam kasus penghapusan Daftar Pencarian Orang (DPO) Djoko Tjandra. Mendengar namanya dibawa-bawa, Yasonna mengaku tidak takut.

Pernyataan tersebut dikatakan Napoleon saat menyampaikan pembelaan atau pledoi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Senin (22/2). Sebelumnya, Jaksa Penuntut Umum (JPU) menuntut Napoleon 3 tahun penjara dan denda Rp 100 juta subsider 6 bulan kurungan terkait kasus penghapusan red notice Djoko Tjandra.

Kepada Hakim, Napoleon mengatakan, tidak memiliki kewenangan menghapus nama Djoko Tjandra dari DPO yang dicatatkan di Direktorat Jenderal Imigrasi. Lalu, dia menyebut Menkumham Yasonna dan Dirjen Imigrasi Kemenkum HAM, Jhoni Ginting sebagai pihak yang berwenang melakukan hal tersebut.

“Penghapusan nama Djoko Tjandra dalam sistem Enhanced Cekal System (ECS) adalah kewenangan Menteri Hukum dan HAM (Yasonna Laoly) atau Dirjen Imigrasi (Jhoni Ginting),” beber Napoleon.

Karena itu, dia menegaskan, bukan dalang dalam skandal kasus ini. “Bukan tanggung jawab Terdakwa karena memang Terdakwa tidak memiliki kewenangan itu,” lanjutnya.

Dia meminta, Majelis Hakim membebaskan dirinya dari seluruh tuntutan JPU. Sebab, penghapusan DPO Djoko Tjandra bukan tanggung jawabnya, melainkan Ditjen Imigrasi Kemenkum HAM. “Dapat ditarik kesimpulan bahwa perbuatan kami sebagai Terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan,” ujarnya.

Dalam surat dakwaan, Napoleon disebut memerintahkan penerbitan surat yang ditujukan kepada Ditjen Imigrasi Kemenkum HAM RI. Adapun surat itu bernomor B/1000/IV/2020/NCB-Div HI, tanggal 29 April 2020, surat nomor: B/1030/V/2020/NCB-Div HI tanggal 04 Mei 2020, dan surat nomor 8 1036/V/2020/NCB-Div HI tgi 05 Mei 2020.

Dengan surat-surat tersebut, 13 Mei 2020 pihak Imigrasi melakukan penghapusan status DPO atas nama Djoko Tjandra. Keseluruhan pleidoi dimentahkan JPU. JPU meminta hakim menolak nota pembelaan Napoleon dan bawahannya Brigjen Prasetijo Utomo. Jaksa menilai pleidoi Prasetijo tidak didukung saksi-saksi maupun argumentasi yang kuat.

 

Alasannya, karena Napoleon bersama Prasetijo terbukti melakukan tindak pidana untuk mengurus penghapusan DPO Djoko Tjandra di Imigrasi. Prasetijo merupakan kepanjangan tangan Napoleon untuk memuluskan Djoko Tjandra mondar-mondir Indonesia.

Brigjen Prasetijo sendiri dituntut 2 tahun dan 6 bulan penjara dan denda Rp 100 juta subsider 6 bulan kurungan. Prasetijo disebut jaksa terbukti membantu upaya penghapusan nama Djoko Tjandra dari DPO.

Prasetijo, disebut jaksa, melanggar Pasal 5 ayat 2 juncto Pasal 5 ayat 1 huruf a atau b Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP dan/atau Pasal 11 atau Pasal 12 huruf a atau b UU Tipikor juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.

Bagaimana tanggapan Yasonna namanya diseret di kasus penghapusan DPO Djoko Tjandra? Politisi PDIP ini langsung membela diri atas klaim Napoleon. Yasonna menjelaskan, masuk atau dicabutnya seseorang dari daftar cekal di Imigrasi berdasarkan permintaan dari Aparat Penegak Hukum (APH).

Hal itu merupakan prosedur tetap (protap) yang berlaku di Ditjen Imigrasi kementeriannya. “Jadi bukan suka-suka kita (pencabutan pencekalan),” tegas Yasonna, kepada wartawan, kemarin.

Yasonna menjelaskan, penghapusan DPO Djoko Tjandra telah disampaikan oleh Dirjen dan Sesditjen Imigrasi Kemenkum HAM kepada penyidik Bareskrim Polri dan Kejaksaan Agung. “Dirjen imigrasi dan Sesditjend sudah memberi keterangan dan penjelasan tentang hal tersebut di Bareskrim dan Kejaksaan Agung,” tuturnya.

Sekali lagi, Yasonna memastikan, mekanisme penghapusan DPO dilakukan berdasarkan permintaan Aparat Penegak Hukum. “Kalau APH minta cekal, kita cekal. Kalau minta hapus, kita hapus. Itu ketentuan hukumnya,” tandas menteri bergelar profesor itu.

Warganet ikutan berkomentar. Ada yang mendukung Napoleon. Ada juga yang mendukung Yasonna. Akun @Pejuang01733866 sependapat dengan Yasonna. “Kemenkum HAM Itu kan hanya terseret dalam sistem akhirnya. Tentunya setelah syarat-syaratnya terpenuhi. Tapi untuk proses administrasinya dari kamu Dodol.” Akun @subhan_mars mendorong Yasonna melawan tudingan Napoleon. “Jangan gentar, Pak. Lawan,” cetusnya. [UMM]

]]> Eks Kepala Divisi Hubungan Internasional Polri, Irjen Napoleon Bonaparte menyeret Menteri Hukum dan HAM, Yasonna Laoly dalam kasus penghapusan Daftar Pencarian Orang (DPO) Djoko Tjandra. Mendengar namanya dibawa-bawa, Yasonna mengaku tidak takut.

Pernyataan tersebut dikatakan Napoleon saat menyampaikan pembelaan atau pledoi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Senin (22/2). Sebelumnya, Jaksa Penuntut Umum (JPU) menuntut Napoleon 3 tahun penjara dan denda Rp 100 juta subsider 6 bulan kurungan terkait kasus penghapusan red notice Djoko Tjandra.

Kepada Hakim, Napoleon mengatakan, tidak memiliki kewenangan menghapus nama Djoko Tjandra dari DPO yang dicatatkan di Direktorat Jenderal Imigrasi. Lalu, dia menyebut Menkumham Yasonna dan Dirjen Imigrasi Kemenkum HAM, Jhoni Ginting sebagai pihak yang berwenang melakukan hal tersebut.

“Penghapusan nama Djoko Tjandra dalam sistem Enhanced Cekal System (ECS) adalah kewenangan Menteri Hukum dan HAM (Yasonna Laoly) atau Dirjen Imigrasi (Jhoni Ginting),” beber Napoleon.

Karena itu, dia menegaskan, bukan dalang dalam skandal kasus ini. “Bukan tanggung jawab Terdakwa karena memang Terdakwa tidak memiliki kewenangan itu,” lanjutnya.

Dia meminta, Majelis Hakim membebaskan dirinya dari seluruh tuntutan JPU. Sebab, penghapusan DPO Djoko Tjandra bukan tanggung jawabnya, melainkan Ditjen Imigrasi Kemenkum HAM. “Dapat ditarik kesimpulan bahwa perbuatan kami sebagai Terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan,” ujarnya.

Dalam surat dakwaan, Napoleon disebut memerintahkan penerbitan surat yang ditujukan kepada Ditjen Imigrasi Kemenkum HAM RI. Adapun surat itu bernomor B/1000/IV/2020/NCB-Div HI, tanggal 29 April 2020, surat nomor: B/1030/V/2020/NCB-Div HI tanggal 04 Mei 2020, dan surat nomor 8 1036/V/2020/NCB-Div HI tgi 05 Mei 2020.

Dengan surat-surat tersebut, 13 Mei 2020 pihak Imigrasi melakukan penghapusan status DPO atas nama Djoko Tjandra. Keseluruhan pleidoi dimentahkan JPU. JPU meminta hakim menolak nota pembelaan Napoleon dan bawahannya Brigjen Prasetijo Utomo. Jaksa menilai pleidoi Prasetijo tidak didukung saksi-saksi maupun argumentasi yang kuat.

 

Alasannya, karena Napoleon bersama Prasetijo terbukti melakukan tindak pidana untuk mengurus penghapusan DPO Djoko Tjandra di Imigrasi. Prasetijo merupakan kepanjangan tangan Napoleon untuk memuluskan Djoko Tjandra mondar-mondir Indonesia.

Brigjen Prasetijo sendiri dituntut 2 tahun dan 6 bulan penjara dan denda Rp 100 juta subsider 6 bulan kurungan. Prasetijo disebut jaksa terbukti membantu upaya penghapusan nama Djoko Tjandra dari DPO.

Prasetijo, disebut jaksa, melanggar Pasal 5 ayat 2 juncto Pasal 5 ayat 1 huruf a atau b Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP dan/atau Pasal 11 atau Pasal 12 huruf a atau b UU Tipikor juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.

Bagaimana tanggapan Yasonna namanya diseret di kasus penghapusan DPO Djoko Tjandra? Politisi PDIP ini langsung membela diri atas klaim Napoleon. Yasonna menjelaskan, masuk atau dicabutnya seseorang dari daftar cekal di Imigrasi berdasarkan permintaan dari Aparat Penegak Hukum (APH).

Hal itu merupakan prosedur tetap (protap) yang berlaku di Ditjen Imigrasi kementeriannya. “Jadi bukan suka-suka kita (pencabutan pencekalan),” tegas Yasonna, kepada wartawan, kemarin.

Yasonna menjelaskan, penghapusan DPO Djoko Tjandra telah disampaikan oleh Dirjen dan Sesditjen Imigrasi Kemenkum HAM kepada penyidik Bareskrim Polri dan Kejaksaan Agung. “Dirjen imigrasi dan Sesditjend sudah memberi keterangan dan penjelasan tentang hal tersebut di Bareskrim dan Kejaksaan Agung,” tuturnya.

Sekali lagi, Yasonna memastikan, mekanisme penghapusan DPO dilakukan berdasarkan permintaan Aparat Penegak Hukum. “Kalau APH minta cekal, kita cekal. Kalau minta hapus, kita hapus. Itu ketentuan hukumnya,” tandas menteri bergelar profesor itu.

Warganet ikutan berkomentar. Ada yang mendukung Napoleon. Ada juga yang mendukung Yasonna. Akun @Pejuang01733866 sependapat dengan Yasonna. “Kemenkum HAM Itu kan hanya terseret dalam sistem akhirnya. Tentunya setelah syarat-syaratnya terpenuhi. Tapi untuk proses administrasinya dari kamu Dodol.” Akun @subhan_mars mendorong Yasonna melawan tudingan Napoleon. “Jangan gentar, Pak. Lawan,” cetusnya. [UMM]
]]>.
Sumber : Rakyat Merdeka RM.ID .

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Categories