
Dirjen Kekayaan Intelektual : Kepastian Hukum Merek Penting Agar Tak Timbul Permasalahan
Berkembangnya era digital, turut mendongkrak kegiatan di sektor perdagangan baik barang maupun jasa mengalami perkembangan yang sangat pesat.
Dengan melihat kecenderungan tersebut, dibutuhkan suatu pengaturan hukum merek yang lebih memadai dalam rangka terciptanya suatu kepastian dan perlindungan hukum yang kuat.
Menurut Undang-Undang (UU) No. 20/2016, merek didefinisikan sebagai tanda yang dapat ditampilkan secara grafis berupa gambar, logo, nama, kata, huruf, angka, susunan warna, dalam bentuk dua dimensi dan/atau tiga dimensi, suara, hologram, atau kombinasi dari dua atau lebih unsur tersebut untuk membedakan barang dan/atau jasa yang diproduksi oleh orang atau badan hukum dalam kegiatan perdagangan barang dan/ atau jasa.
“Merujuk pada definisi tersebut, tanda yang digunakan sebagai merek harus memiliki daya pembeda yang kuat sehingga konsumen dapat membedakan identitas suatu produk tertentu dengan produk sejenis lainnya di pasaran,” jelas Direktur Merek dan Indikasi Geografis Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum & HAM, Nofli dalam diskusi virtual bertajuk Itikad Tidak Baik dalam Penggunaan Kata Umum (Deskriptif) Sebagai Merek & Bagaimana Membangun Daya Pembeda Suatu Merek Agar Menjadi Distinctive Dibandingkan Merek Lain yang Sudah Terdaftar, Senin (22/2).
Ia menjelaskan, tanda yang dimaksud harus memiliki daya pembeda yang kuat agar dapat dilindungi sebagai merek sehingga konsumen dapat membedakan identitas produk tertentu dengan produk sejenis lainnya.
“Jadi tanda tersebut tidak dapat berfungsi sebagai petunjuk sumber atau asal produk. Tanda demikian tidak dapat digunakan secara eksklusif oleh siapapun karena fungsi sebagai daya pembeda tidak terpenuhi,” katanya.
Sehingga, lanjut Nofli, kemungkinan terjadi penggunaan tanda yang sama dalam perdagangan oleh pihak lain untuk barang sejenis sangat besar karena penggunaan tanda dimaksud sudah lazim untuk jenis barang tertentu.
“Ketika suatu tanda lazim digunakan untuk menunjukkan barang atau jasa tertentu, maka konsumen akan menganggapnya sebagai tanda umum yang hanya mengindikasikan produk itu sendiri,” ujarnya.
Nofli menambahkan, daya pembeda yang diperoleh sebuah merek diperoleh melalui penggunaan di pasaran sehingga membuat konsumen mengenalinya sebagai tanda yang berfungsi sebagai identitas sumber barang atau jasa.
“Daya pembeda tersebut diperoleh karena adanya makna sekunder (secondary meaning) dari tanda yang bersifat deskriptif,” tambahnya.
Lebih lanjut Ia mengatakan tanda tersebut masih mungkin untuk didaftarkan sebagai merek apabila pemilik merek dapat menunjukkan bahwa konsumen mampu mengenali tanda tersebut sebagai identitas sumber produk dengan bukti-bukti penggunaan, yang biasa disebut dengan istilah secondary meaning.
Namun, menurut Nofli, pada praktiknya tidak ada garis yang jelas bagaimana suatu tanda deskriptif telah mendapatkan makna sekunder atau tidak. “Pembuktian akan bersifat kasuistis. Bukti-bukti tersebut dapat berupa dokumen penggunaan merek, iklan, penelitian pasar, penjualan, katalog, foto, survei dan lain-lain. Pembuktian harus secara layak menunjukkan faktor-faktor yang meliputi tempat, waktu, dan luasnya penggunaan merek,” urai Nofli.
Di kesempatan yang sama, Hakim Agung MARI, Ibrahim mengungkapkan, adanya kondisi dilution doctrine, suatu kondisi dimana suatu merek dapat melemahkan (dilute) esensi atas keunikan dan perbedaan dari merek lain, yang mana secara simultan dapat merugikan pemilik merek selaku pemegang hak yang sah.
Menurut Ibrahim, konsep dilusi merek tidak dapat digunakan terhadap suatu merek dagang yang merupakan suatu kalimat atau istilah yang deskriptif dan bukan merupakan elemen utama dari kesatuan merek tersebut atau secondary brand.
Sementara kalimat atau istilah deskriptif seringkali mengandung kata-kata yang umum digunakan sehari-hari (generic words) oleh konsumen dan pelaku usaha. “Klaim atas generic term (istilah generik) untuk memperoleh hak eksklusif Merek selayaknya ditolak, karena berpotensi timbulnya upaya monopoli yang berujung pada sengketa,” katanya.
Ibrahim mencontohkan merek yang daya pembedanya menjadi melemah/menghilang antara lain merek Odol Clasic, Pralon-pertama dan terbaik, Pingpong-the original, dan Tipp-Ex.
Sementara penggunaan secondary trademark atau unsur tambahan dari suatu merek yang digunakan untuk membangun persepsi konsumen dengan menggunakan kata umum misalnya kata Mi Goreng dari IndoMie, kata Anti Noda dari Rinso, dan kata Anti Nyamuk dalam kemasan HIT.
Sementara Kasubdit Pemeriksaan Merek DJKI, T Didik Taryadi menuturkan, dalam kesempatan yang sama mengatakan, dalam Pasal 21 ayat (3) UU Merek dan IG, bahwa Permohonan ditolak jika diajukan oleh Pemohon yang beritikad tidak baik.
Adapun yang dimaksud dengan ‘Pemohon yang beriktikad tidak baik’ adalah Pemohon yang patut diduga dalam mendaftarkan Mereknya memiliki niat untuk meniru, menjiplak, atau mengikuti Merek pihak lain demi kepentingan usahanya menimbulkan kondisi persaingan usaha tidak sehat, mengecoh, atau menyesatkan konsumen.
“Beritikad tidak baik itu mencakup meniru, menjiplak, atau mengikuti merek pihak lain. Misalnya meniru bentuk tulisan/lukisan merek pihak lain. Kemudian membonceng, meniru, atau menjiplak merek terkenal milik pihak lain. Dan Menjiplak karya cipta milik pihak lain,” katanya.
Sementara Ketua Umum AKHKI, Suyud Margono dalam kesempatan yang sama menyoroti perbuatan curang penerapan Merek (consumers misleading). Bentuk-bentuk tindakan penyesatan terhadap pengguna/ konsumen dalam menentukan produk, umumnya dalam produk barang kebutuhan pokok (konsumsi).
“Pelaku Usaha menggunakan label merek yang mengarahkan konsumen berpikir atau mengasosiasikan secara kasat mata. Nah, kemiripan label (similarities/ identical) kasat mata karena bentuk yang ada. Padahal merek seharusnya tidak mendeskripsikan fungsi, keterangan, kualitas produk,” jelas Suyud. [DWI]
]]> Berkembangnya era digital, turut mendongkrak kegiatan di sektor perdagangan baik barang maupun jasa mengalami perkembangan yang sangat pesat.
Dengan melihat kecenderungan tersebut, dibutuhkan suatu pengaturan hukum merek yang lebih memadai dalam rangka terciptanya suatu kepastian dan perlindungan hukum yang kuat.
Menurut Undang-Undang (UU) No. 20/2016, merek didefinisikan sebagai tanda yang dapat ditampilkan secara grafis berupa gambar, logo, nama, kata, huruf, angka, susunan warna, dalam bentuk dua dimensi dan/atau tiga dimensi, suara, hologram, atau kombinasi dari dua atau lebih unsur tersebut untuk membedakan barang dan/atau jasa yang diproduksi oleh orang atau badan hukum dalam kegiatan perdagangan barang dan/ atau jasa.
“Merujuk pada definisi tersebut, tanda yang digunakan sebagai merek harus memiliki daya pembeda yang kuat sehingga konsumen dapat membedakan identitas suatu produk tertentu dengan produk sejenis lainnya di pasaran,” jelas Direktur Merek dan Indikasi Geografis Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum & HAM, Nofli dalam diskusi virtual bertajuk Itikad Tidak Baik dalam Penggunaan Kata Umum (Deskriptif) Sebagai Merek & Bagaimana Membangun Daya Pembeda Suatu Merek Agar Menjadi Distinctive Dibandingkan Merek Lain yang Sudah Terdaftar, Senin (22/2).
Ia menjelaskan, tanda yang dimaksud harus memiliki daya pembeda yang kuat agar dapat dilindungi sebagai merek sehingga konsumen dapat membedakan identitas produk tertentu dengan produk sejenis lainnya.
“Jadi tanda tersebut tidak dapat berfungsi sebagai petunjuk sumber atau asal produk. Tanda demikian tidak dapat digunakan secara eksklusif oleh siapapun karena fungsi sebagai daya pembeda tidak terpenuhi,” katanya.
Sehingga, lanjut Nofli, kemungkinan terjadi penggunaan tanda yang sama dalam perdagangan oleh pihak lain untuk barang sejenis sangat besar karena penggunaan tanda dimaksud sudah lazim untuk jenis barang tertentu.
“Ketika suatu tanda lazim digunakan untuk menunjukkan barang atau jasa tertentu, maka konsumen akan menganggapnya sebagai tanda umum yang hanya mengindikasikan produk itu sendiri,” ujarnya.
Nofli menambahkan, daya pembeda yang diperoleh sebuah merek diperoleh melalui penggunaan di pasaran sehingga membuat konsumen mengenalinya sebagai tanda yang berfungsi sebagai identitas sumber barang atau jasa.
“Daya pembeda tersebut diperoleh karena adanya makna sekunder (secondary meaning) dari tanda yang bersifat deskriptif,” tambahnya.
Lebih lanjut Ia mengatakan tanda tersebut masih mungkin untuk didaftarkan sebagai merek apabila pemilik merek dapat menunjukkan bahwa konsumen mampu mengenali tanda tersebut sebagai identitas sumber produk dengan bukti-bukti penggunaan, yang biasa disebut dengan istilah secondary meaning.
Namun, menurut Nofli, pada praktiknya tidak ada garis yang jelas bagaimana suatu tanda deskriptif telah mendapatkan makna sekunder atau tidak. “Pembuktian akan bersifat kasuistis. Bukti-bukti tersebut dapat berupa dokumen penggunaan merek, iklan, penelitian pasar, penjualan, katalog, foto, survei dan lain-lain. Pembuktian harus secara layak menunjukkan faktor-faktor yang meliputi tempat, waktu, dan luasnya penggunaan merek,” urai Nofli.
Di kesempatan yang sama, Hakim Agung MARI, Ibrahim mengungkapkan, adanya kondisi dilution doctrine, suatu kondisi dimana suatu merek dapat melemahkan (dilute) esensi atas keunikan dan perbedaan dari merek lain, yang mana secara simultan dapat merugikan pemilik merek selaku pemegang hak yang sah.
Menurut Ibrahim, konsep dilusi merek tidak dapat digunakan terhadap suatu merek dagang yang merupakan suatu kalimat atau istilah yang deskriptif dan bukan merupakan elemen utama dari kesatuan merek tersebut atau secondary brand.
Sementara kalimat atau istilah deskriptif seringkali mengandung kata-kata yang umum digunakan sehari-hari (generic words) oleh konsumen dan pelaku usaha. “Klaim atas generic term (istilah generik) untuk memperoleh hak eksklusif Merek selayaknya ditolak, karena berpotensi timbulnya upaya monopoli yang berujung pada sengketa,” katanya.
Ibrahim mencontohkan merek yang daya pembedanya menjadi melemah/menghilang antara lain merek Odol Clasic, Pralon-pertama dan terbaik, Pingpong-the original, dan Tipp-Ex.
Sementara penggunaan secondary trademark atau unsur tambahan dari suatu merek yang digunakan untuk membangun persepsi konsumen dengan menggunakan kata umum misalnya kata Mi Goreng dari IndoMie, kata Anti Noda dari Rinso, dan kata Anti Nyamuk dalam kemasan HIT.
Sementara Kasubdit Pemeriksaan Merek DJKI, T Didik Taryadi menuturkan, dalam kesempatan yang sama mengatakan, dalam Pasal 21 ayat (3) UU Merek dan IG, bahwa Permohonan ditolak jika diajukan oleh Pemohon yang beritikad tidak baik.
Adapun yang dimaksud dengan ‘Pemohon yang beriktikad tidak baik’ adalah Pemohon yang patut diduga dalam mendaftarkan Mereknya memiliki niat untuk meniru, menjiplak, atau mengikuti Merek pihak lain demi kepentingan usahanya menimbulkan kondisi persaingan usaha tidak sehat, mengecoh, atau menyesatkan konsumen.
“Beritikad tidak baik itu mencakup meniru, menjiplak, atau mengikuti merek pihak lain. Misalnya meniru bentuk tulisan/lukisan merek pihak lain. Kemudian membonceng, meniru, atau menjiplak merek terkenal milik pihak lain. Dan Menjiplak karya cipta milik pihak lain,” katanya.
Sementara Ketua Umum AKHKI, Suyud Margono dalam kesempatan yang sama menyoroti perbuatan curang penerapan Merek (consumers misleading). Bentuk-bentuk tindakan penyesatan terhadap pengguna/ konsumen dalam menentukan produk, umumnya dalam produk barang kebutuhan pokok (konsumsi).
“Pelaku Usaha menggunakan label merek yang mengarahkan konsumen berpikir atau mengasosiasikan secara kasat mata. Nah, kemiripan label (similarities/ identical) kasat mata karena bentuk yang ada. Padahal merek seharusnya tidak mendeskripsikan fungsi, keterangan, kualitas produk,” jelas Suyud. [DWI]
]]> . Sumber : Rakyat Merdeka RM.ID .