Didik J Rachbini: Lagi Pandemi, Rem Dulu Belanja Infrastruktur
Ekonom Senior Institute for Develompent of Economic and Finance (Indef) Didik J Rachbini mengingatkan pemerintah agar mengerem belanja infrastruktur di masa pandemi.
Kritikan tersebut menanggapi pernyataan Menteri Keuagan (Menkeu) Sri Mulyani yang memastikan pemerintah akan menggeber proyek infrastruktur di 2021. Menurut Sri Mul, infrastruktur adalah kunci untuk mengejar pembangunan dan peerumbuhan yang inklusif.
Didik menyatakan, dalam masa krisis seperti ini, penggunaan anggaran harus benar-benar yang efisien mengingat utang sudah sedemikian besar. Tidak bisa pemerintah pakai gaya rumus keynes sembarangan asal menaikkan anggaran tetapi tidak jelas ke kegiatan apa anggaran tersebut dialokasikan dan seberapa produktif hasilnya. Didik juga mengingatkan, proyek infrastruktur tidak dapat sembarangan asal membangun.
“Anggaran infratruktur mengambil dana sangat besar, capital intensif, pakai utang luar negeri. Karena itu pembangunan infrastruktur yang tidak mendesak mesti ditunda agar defisit APBN terkendali,” kata Didik, saat berbincang dengan RM.id, Jumat (19/2).
Menurut dia, proyek pembangunan infrastruktur yang bisa dijalankan adalah proyek yang menyerap tenaga kerja banyak dan intensif.
“Selain itu, tidak memakai anggaran sangat besar, medesak dan jangka pendek,” ungkapnya.
Sebelumnya, Sri Mulyani menyampaikan masa pandemi Covid-19 telah membawa perubahan besar dan mendasar dalam berbagai kehidupan termasuk ekonomi. Ketimpangan pun terjadi. Karena pembangunan yang inklusif atau merata atau memberikan manfaat kepada masyarakat secara umum.
Sri Mul bilang, pemerintah telah mengeluarkan berbagai kebijakan seperti bansos untuk melindungi kelompok rentan itu. Selain bansos, Sri Mul juga bicara kebijakan pemerintah tetap menggeber infrastruktur.
Dia menegaskan, infrastruktur adalah kunci dalam mendorong pembangunan berkelanjutan serta inklusif. Infrastruktur itu antara lain jalan, listrik, pelabuhan, bandara konektivitas, air bersih, serta sanitasi. Ditambahkannya, banyak daerah yang tak memiliki infrastruktur yang berkualitas seperti di Jakarta.
“Ini bukan pilihan, ini kondisi yang perlu agar Indonesia bisa tumbuh secara inklusif,” kata Sri Mul dalam webinar UI, Kamis (18/2).
Dari mana uang pembangunan infrastruktur itu? Sri Mul mengatakan tak menampik pembiayaan infrastruktur itu diperoleh dari utang. Mau tak mau pemerintah harus berutang untuk membiayai berbagai kebutuhan di tengah pandemi.
Eks Direktur Pelaksana Bank Dunia ini mengatakan, rasio utang RI saat ini hampir tembus 40 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Naik sekitar 10 persen dari sebelum pandemi. Meski rasio utang naik, Sri Mul yakin strategi yang dilakukan pemerintah sudah meemikirkan aspek kehati-hatian yang luar biasa dan tidak sembarang dalam melakukan penarikan utang.
Dia mengklaim, banyak negara maju yang rasio utangnya lebih tinggi dibanding RI. Amerika Serikat misalnya rasio utangnya sudah 103 persen, belum lagi Prancis (118 persen), Jerman (72 persen), lalu China dan India masing-masing 66 persen dan mendekati 90 persen.
Di kawasan ASEAN, Indonesia juga masih jauh lebih baik dibandingkan dengan Malaysia 66 persen, Singapura 131 persen, Filipina 54,8 persen dan Thailand 50 persen. “Tapi bukan berarti kita yang paling kompeten,” ucapnya. [BCG]
]]> Ekonom Senior Institute for Develompent of Economic and Finance (Indef) Didik J Rachbini mengingatkan pemerintah agar mengerem belanja infrastruktur di masa pandemi.
Kritikan tersebut menanggapi pernyataan Menteri Keuagan (Menkeu) Sri Mulyani yang memastikan pemerintah akan menggeber proyek infrastruktur di 2021. Menurut Sri Mul, infrastruktur adalah kunci untuk mengejar pembangunan dan peerumbuhan yang inklusif.
Didik menyatakan, dalam masa krisis seperti ini, penggunaan anggaran harus benar-benar yang efisien mengingat utang sudah sedemikian besar. Tidak bisa pemerintah pakai gaya rumus keynes sembarangan asal menaikkan anggaran tetapi tidak jelas ke kegiatan apa anggaran tersebut dialokasikan dan seberapa produktif hasilnya. Didik juga mengingatkan, proyek infrastruktur tidak dapat sembarangan asal membangun.
“Anggaran infratruktur mengambil dana sangat besar, capital intensif, pakai utang luar negeri. Karena itu pembangunan infrastruktur yang tidak mendesak mesti ditunda agar defisit APBN terkendali,” kata Didik, saat berbincang dengan RM.id, Jumat (19/2).
Menurut dia, proyek pembangunan infrastruktur yang bisa dijalankan adalah proyek yang menyerap tenaga kerja banyak dan intensif.
“Selain itu, tidak memakai anggaran sangat besar, medesak dan jangka pendek,” ungkapnya.
Sebelumnya, Sri Mulyani menyampaikan masa pandemi Covid-19 telah membawa perubahan besar dan mendasar dalam berbagai kehidupan termasuk ekonomi. Ketimpangan pun terjadi. Karena pembangunan yang inklusif atau merata atau memberikan manfaat kepada masyarakat secara umum.
Sri Mul bilang, pemerintah telah mengeluarkan berbagai kebijakan seperti bansos untuk melindungi kelompok rentan itu. Selain bansos, Sri Mul juga bicara kebijakan pemerintah tetap menggeber infrastruktur.
Dia menegaskan, infrastruktur adalah kunci dalam mendorong pembangunan berkelanjutan serta inklusif. Infrastruktur itu antara lain jalan, listrik, pelabuhan, bandara konektivitas, air bersih, serta sanitasi. Ditambahkannya, banyak daerah yang tak memiliki infrastruktur yang berkualitas seperti di Jakarta.
“Ini bukan pilihan, ini kondisi yang perlu agar Indonesia bisa tumbuh secara inklusif,” kata Sri Mul dalam webinar UI, Kamis (18/2).
Dari mana uang pembangunan infrastruktur itu? Sri Mul mengatakan tak menampik pembiayaan infrastruktur itu diperoleh dari utang. Mau tak mau pemerintah harus berutang untuk membiayai berbagai kebutuhan di tengah pandemi.
Eks Direktur Pelaksana Bank Dunia ini mengatakan, rasio utang RI saat ini hampir tembus 40 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Naik sekitar 10 persen dari sebelum pandemi. Meski rasio utang naik, Sri Mul yakin strategi yang dilakukan pemerintah sudah meemikirkan aspek kehati-hatian yang luar biasa dan tidak sembarang dalam melakukan penarikan utang.
Dia mengklaim, banyak negara maju yang rasio utangnya lebih tinggi dibanding RI. Amerika Serikat misalnya rasio utangnya sudah 103 persen, belum lagi Prancis (118 persen), Jerman (72 persen), lalu China dan India masing-masing 66 persen dan mendekati 90 persen.
Di kawasan ASEAN, Indonesia juga masih jauh lebih baik dibandingkan dengan Malaysia 66 persen, Singapura 131 persen, Filipina 54,8 persen dan Thailand 50 persen. “Tapi bukan berarti kita yang paling kompeten,” ucapnya. [BCG]
]]> . Sumber : Rakyat Merdeka RM.ID .