Dibahas Kilat, Disahkan Minggu Ini UU Ibu Kota Negara Jangan Bernasib Seperti UU Ciptaker

Rancangan Undang-Undang Ibu Kota Negara (RUU IKN) dibahas sangat kilat. Panitia Khusus (Pansus) RUU IKN DPR mampu merampungkan pembahasan hanya dalam tempo 43 hari. RUU ini ditargetkan disahkan pekan ini. Karena begitu kilat, ada yang khawatir, RUU IKN bisa bernasib seperti UU Cipta Kerja, yang digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK) lalu dinyatakan inkonstitusional bersyarat.

Pansus RUU IKN dibentuk DPR , 7 Desember 2021. Setelah itu, Pansus langsung tancap gas. Rapat pun dilakukan secara intens. Pekan kemarin, Pansus beres membahas RUU itu dan siap dibawa ke Rapat Paripurna, Selasa (18/1) besok.

Kabar RUU itu akan disahkan besok disampaikan Ketua Pansus RUU IKN, Ahmad Doli Kurnia. “Insya Allah Paripurna tanggal 18 Januari di masa sidang ini,” ucapnya.

Dia memastikan, pengesahan itu tidak tergesa-gera. Sebab, sudah sejalan dengan rencana Pansus untuk menyelesaikan RUU IKN pada masa sidang ini.

Politisi Partai Golkar ini merinci, pembahasan RUU IKN mencakup empat poin. Pertama, status Pemerintah Daerah Khusus Ibu Kota Negara. Kedua, pendanaan dan pembiayaan. Sebagian besar anggota Pansus meminta agar pembangunan IKN di Kabupaten Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur, ini, tak terlalu membebani APBN.

Ketiga, mengenai pertanahan. Tanah yang dijadikan IKN itu harus benar-benar milik negara, sehingga tidak ada sengketa di kemudian hari. Keempat, rencana induk atau master plan IKN yang berisi panduan pemindahan IKN.

Untuk Status Pemda di IKN, Wakil Ketua Pansus, Saan Mustopa menerangkan, kepala daerahnya setingkat menteri dan diangkat langsung Presiden. Penganggarannya juga berasal dari Pemerintah Pusat, yakni menggunakan APBN.

“Persentasi politiknya hanya DPR dan DPD. Tidak ada DPRD provinsi maupun kabupaten/kota. Jadi, kekhususannya itu kepala daerahnya adalah gubernur, tetapi setingkat menteri dan diangkat Presiden,” jelas Saan.

Politisi Partai NasDem ini melanjutkan, dalam Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) 11, Pemerintah ingin agar status IKN adalah otorita. Namun, otorita itu tidak mempunyai sandaran hukum yang kuat secara konstitusi. Maka, kemudian disepakati bentuknya adalah Pemerintah Daerah Khusus (Pemdasus).

Wakil Ketua Komisi II DPR ini memastikan, Pansus komitmen dengan prinsip kehati-hatian. Pihaknya tidak mau undang-undang IKN cacat formil. 

 

“Dari awal, kami semua sudah berkomitmen untuk menjaga supaya tidak cacat formil, yakni dengan mengikuti semua prosedur pembuatan undang-undang. Kami juga mentaati Undang-Undang MD3 (MPR, DPR, DPD, dan DPRD) maupun Tatib (Tata Tertib). Selain itu, prinsip kehati-hatian dari semua aspek yang menjadi sorotan publik itu juga kita perhatikan semua, termasuk lingkungan dan lain sebagainya,” ujarnya. 

Meski begitu, karena kerja Pansus ini begitu cepat, banyak pihak yang ragu terkait ketaatan dalam pelaksanaan prosedur. Termasuk dari internal DPR. Anggota Fraksi Demokrat Hinca Panjaitan salah satunya. 

“Niat untuk membangun Ibu Kota ini harus kita hormati. Tapi, diperlukan kehati-hatian apalagi timeline. Nanti kalau ketabrak gimana. Inilah harus kehati-hatian,” pesan mantan Sekjen Partai Demokrat ini.

Anggota Fraksi PKS Mardani Ali Sera juga sama. Karenanya, dia meminta Pansus tidak perlu terburu-buru mengesahkan RUU IKN. Dia lalu mengingatkan, jangan sampai UU IKN bernasib seperti UU Cipta Kerja, yang diputus tak memenuhi syarat formil oleh MK, karena bermasalah saat proses pembentukannya.

Sementara, Direktur Eksekutif Indonesia Political Review, Ujang Komarudin tak kaget mendengar RUU IKN bakal segera disahkan. Sebab, RUU itu pesanan Pemerintah. Dengan komposisi DPR yang mayoritas partai koalisi, pembahasannya dipastikan cepat.

“DPR tak akan berani mengkritik atau menolak. Karena semuanya seperti paduan suara, yang bernada ‘setuju’. Sistem kebut sebulan itu biasa dilakukan DPR. Soal hasilnya, mereka tak peduli. Makanya, banyak Undang-Undang yang mentah di MK, seperti Undang-Undang Cipta Kerja,” ucap Ujang.

Direktur Eksekutif Indonesia Political Opinion (IPO) Dedi Kurnia Syah menyikapi hal ini dengan lebih kalem. Dia meminta DPR membuka kajian akademik RUU IKN. Ia tidak ingin UU ini dibuat sebatas menggunakan template, tanpa riset yang matang. 

Dedi menerangkan, IKN merupakan mega proyek. Jika gagal, tidak dapat diulang. Potensi terjadi korupsi juga sangat besar. Karena itu, harus benar-benar dimulai dengan kajian yang detail dan bersih dari kepentingan politik kekuasaan.

“Wibawa pemerintah dipertaruhkan. Sekaligus akan menjadi tanggung beban pemerintahan berikutnya. Sehingga hal yang instan, terburu-buru, harus dihindari, terlebih dikerjakan dalam masa pandemi,” sarannya. [MEN]

]]> Rancangan Undang-Undang Ibu Kota Negara (RUU IKN) dibahas sangat kilat. Panitia Khusus (Pansus) RUU IKN DPR mampu merampungkan pembahasan hanya dalam tempo 43 hari. RUU ini ditargetkan disahkan pekan ini. Karena begitu kilat, ada yang khawatir, RUU IKN bisa bernasib seperti UU Cipta Kerja, yang digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK) lalu dinyatakan inkonstitusional bersyarat.

Pansus RUU IKN dibentuk DPR , 7 Desember 2021. Setelah itu, Pansus langsung tancap gas. Rapat pun dilakukan secara intens. Pekan kemarin, Pansus beres membahas RUU itu dan siap dibawa ke Rapat Paripurna, Selasa (18/1) besok.

Kabar RUU itu akan disahkan besok disampaikan Ketua Pansus RUU IKN, Ahmad Doli Kurnia. “Insya Allah Paripurna tanggal 18 Januari di masa sidang ini,” ucapnya.

Dia memastikan, pengesahan itu tidak tergesa-gera. Sebab, sudah sejalan dengan rencana Pansus untuk menyelesaikan RUU IKN pada masa sidang ini.

Politisi Partai Golkar ini merinci, pembahasan RUU IKN mencakup empat poin. Pertama, status Pemerintah Daerah Khusus Ibu Kota Negara. Kedua, pendanaan dan pembiayaan. Sebagian besar anggota Pansus meminta agar pembangunan IKN di Kabupaten Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur, ini, tak terlalu membebani APBN.

Ketiga, mengenai pertanahan. Tanah yang dijadikan IKN itu harus benar-benar milik negara, sehingga tidak ada sengketa di kemudian hari. Keempat, rencana induk atau master plan IKN yang berisi panduan pemindahan IKN.

Untuk Status Pemda di IKN, Wakil Ketua Pansus, Saan Mustopa menerangkan, kepala daerahnya setingkat menteri dan diangkat langsung Presiden. Penganggarannya juga berasal dari Pemerintah Pusat, yakni menggunakan APBN.

“Persentasi politiknya hanya DPR dan DPD. Tidak ada DPRD provinsi maupun kabupaten/kota. Jadi, kekhususannya itu kepala daerahnya adalah gubernur, tetapi setingkat menteri dan diangkat Presiden,” jelas Saan.

Politisi Partai NasDem ini melanjutkan, dalam Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) 11, Pemerintah ingin agar status IKN adalah otorita. Namun, otorita itu tidak mempunyai sandaran hukum yang kuat secara konstitusi. Maka, kemudian disepakati bentuknya adalah Pemerintah Daerah Khusus (Pemdasus).

Wakil Ketua Komisi II DPR ini memastikan, Pansus komitmen dengan prinsip kehati-hatian. Pihaknya tidak mau undang-undang IKN cacat formil. 

 

“Dari awal, kami semua sudah berkomitmen untuk menjaga supaya tidak cacat formil, yakni dengan mengikuti semua prosedur pembuatan undang-undang. Kami juga mentaati Undang-Undang MD3 (MPR, DPR, DPD, dan DPRD) maupun Tatib (Tata Tertib). Selain itu, prinsip kehati-hatian dari semua aspek yang menjadi sorotan publik itu juga kita perhatikan semua, termasuk lingkungan dan lain sebagainya,” ujarnya. 

Meski begitu, karena kerja Pansus ini begitu cepat, banyak pihak yang ragu terkait ketaatan dalam pelaksanaan prosedur. Termasuk dari internal DPR. Anggota Fraksi Demokrat Hinca Panjaitan salah satunya. 

“Niat untuk membangun Ibu Kota ini harus kita hormati. Tapi, diperlukan kehati-hatian apalagi timeline. Nanti kalau ketabrak gimana. Inilah harus kehati-hatian,” pesan mantan Sekjen Partai Demokrat ini.

Anggota Fraksi PKS Mardani Ali Sera juga sama. Karenanya, dia meminta Pansus tidak perlu terburu-buru mengesahkan RUU IKN. Dia lalu mengingatkan, jangan sampai UU IKN bernasib seperti UU Cipta Kerja, yang diputus tak memenuhi syarat formil oleh MK, karena bermasalah saat proses pembentukannya.

Sementara, Direktur Eksekutif Indonesia Political Review, Ujang Komarudin tak kaget mendengar RUU IKN bakal segera disahkan. Sebab, RUU itu pesanan Pemerintah. Dengan komposisi DPR yang mayoritas partai koalisi, pembahasannya dipastikan cepat.

“DPR tak akan berani mengkritik atau menolak. Karena semuanya seperti paduan suara, yang bernada ‘setuju’. Sistem kebut sebulan itu biasa dilakukan DPR. Soal hasilnya, mereka tak peduli. Makanya, banyak Undang-Undang yang mentah di MK, seperti Undang-Undang Cipta Kerja,” ucap Ujang.

Direktur Eksekutif Indonesia Political Opinion (IPO) Dedi Kurnia Syah menyikapi hal ini dengan lebih kalem. Dia meminta DPR membuka kajian akademik RUU IKN. Ia tidak ingin UU ini dibuat sebatas menggunakan template, tanpa riset yang matang. 

Dedi menerangkan, IKN merupakan mega proyek. Jika gagal, tidak dapat diulang. Potensi terjadi korupsi juga sangat besar. Karena itu, harus benar-benar dimulai dengan kajian yang detail dan bersih dari kepentingan politik kekuasaan.

“Wibawa pemerintah dipertaruhkan. Sekaligus akan menjadi tanggung beban pemerintahan berikutnya. Sehingga hal yang instan, terburu-buru, harus dihindari, terlebih dikerjakan dalam masa pandemi,” sarannya. [MEN]
]]> . Sumber : Rakyat Merdeka – RM.ID .

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Categories