
Datangi KPK, Gubernur Aceh-Wali Kota Banda Aceh Selesaikan Masalah Tumpang Tindih Aset
Gubernur Aceh Nova Iriansyah dan Wali Kota Banda Aceh Aminullah Usman berkomitmen melakukan penyelesaian delapan aset yang selama ini tumpang tindih antara Provinsi dengan Kota Banda Aceh. Keduanya mendatangi Gedung KPK, Kuning, Jakarta Selatan, Kamis (11/2), untuk menyelesaikan masalah aset.
Di sana, mereka menemui Deputi Bidang Koordinasi dan Supervisi Herry KPK Muryanto dan Direktur Koordinasi dan Supervisi KPK Brigjen Polisi Didik Agung Widjanarko. Di hadapan perwakilan KPK itu, keduanya menandatangani berita acara penyelesaian masalah aset.
Nova Iriansyah menyampaikan terima kasih dan mengapresiasi gagasan KPK dalam mendorong penyelesaian aset tumpang tindih antara Pemprov Aceh dengan Pemkot Banda Aceh. “Sejak awal saya menilai penting untuk ditertibkan dan dikelola secara baik sehingga dapat dimanfaatkan untuk kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat Aceh, sebagaimana ketentuan yang berlaku,” kata Nova, usai penandatanganan.
Ia kemudian merincikan delapan aset yang sebelumnya tumpang tindih. Yaitu Gedung Banda Aceh Madani Education Center (BMEC), tanah dan bangunan Rumah Budaya, tanah Stadion Haji Di Murthala, tanah SD Negeri 47 Banda Aceh, tanah Rumah Dinas Wali Kota Banda Aceh, tanah Pasar Al Mahirah Lamdingin, tanah bangunan Cold Storage Lampulo, dan Pelabuhan penyeberangan Uleu Lheue.
“Untuk percepatan penyelesaiannya, saya telah instruksikan Sekda Aceh untuk melakukan upaya konkret penyelesaian aset-aset tersebut dengan Pemerintah Kota Banda Aceh,” sambung Nova.
Upaya yang dilakukan, tambahnya, telah disampaikannya kepada Wali Kota Banda Aceh melalui Surat Nomor 118/2338 tanggal 10 Februari 2020 tentang Tindak Lanjut hasil temuan BPK sebagaimana amanat UU 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, yaitu Pelabuhan Penyeberangan Uleu Lheue menjadi kewenangan Pemprov.
“Beberapa aset lainnya telah ditindaklanjuti penyelesaiannya melalui rapat,pada 2 Juli 2020 di Kantor Gubernur Aceh yang dipimpin Sekda Aceh dan turut dihadiri Sekda Kota Banda Aceh beserta sejumlah pejabat lainnya,” katanya.
Pertemuan itu menghasilkan kesepakatan bahwa Pemkot Banda Aceh segera menyampaikan rencana pemanfaatan dan pengelolaan aset tumpang tindih tersebut, namun dalam perkembangannya belum berjalan sebagaimana yang diharapkan. Selanjutnya, kata Nova, pada 9 Februari 2021 telah dilaksanakan pula pertemuan lanjutan yang dipimpin Sekda Aceh dan turut dihadiri Wali Kota Banda Aceh beserta Sekda Kota Banda Aceh dan pejabat lainnya.
Politisi Demokrat ini menyebutkan, pertemuan itu menghasilkan kesepakatan akhir, yang lima dari delapan aset diserahkan kepada Pemkot Banda Aceh yaitu tanah Stadion Haji Di Murthala, tanah SD Negeri 47 Banda Aceh, tanah rumah dinas Walikota Banda Aceh, tanah pasar Al Mahirah Lamdingin dan tanah bangunan cold storage Lampulo. Sedangkan tiga aset lainnya, yaitu Gedung BMEC, Rumah Budaya dan Pelabuhan Penyeberangan Uleu Lheue diserahkan kepada Pemerintah Aceh.
Ia menyebutkan, kesepakatan ini telah tertuang dalam Berita Acara. Sehingga Pemprov Aceh dan Pemkot Banda Aceh telah memperoleh titik temu dan berkomitmen untuk menindaklanjuti sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam tempo penyelesaian sesingkat mungkin, yang diperkirakan pada akhir Maret ini tuntas.
Wali Kota Banda Aceh Aminullah Usman juga mengapresiasi KPK yang sudah berinisiatif menyelenggarakan acara tersebut, karena bisa menengahi kedua belah pihak. “Sebenarnya tidak ada lagi masalah terhadap aset ini karena sudah ada rapat sebelumnya. Tapi dengan adanya KPK sebagai mediator penyelesaian, maka kita yakin masalah ini akan segera selesai,” kata Aminullah.
Eks Dirut Bank Aceh ini juga mengatakan, dalam rapat yang dihadirinya pada 9 Februari, sudah dirumuskan apa yang mesti dilakukan. Urutannya juga sudah sangat jelas. Namun memang perlu ada pengawasan dari KPK. Begitu pula dengan Gubernur Aceh yang telah menetapkan tim Ad Hoc antara Pemerintah Aceh dengan Pemerintah Kota Banda Aceh untuk penyelesaian masalah tersebut. “Saya kira kalau sudah ada tim seperti itu, nanti kita menandatangani surat-surat saja untuk bekerja ekstra, mengejar waktu satu setengah bulan lagi, insya Allah bisa tuntas,” tambahnya.
Sementara itu, Deputi Bidang Koordinasi dan Supervisi Herry KPK Muryanto mengatakan, terkait dengan permasalahan aset ini, bagi KPK permasalah aset bukan hanya di Aceh, tapi juga ada di daerah lain di Indonesia. “Jadi kami coba menengahi, kami tidak mengambil keputusan, tapi kita coba berdiskusi, kami berdiri ditengah untuk mendorong,” kata Herry.
Menurutnya, aset ini sebenarnya harus dimanfaatkan masyarakat, sementara di tata kelola saat ini administrasinya masih amburadul. Untuk itu, harus dilakukan dari sisi pengamanan aset. “Kita harus pengamanan sertifikasi yang merupakan pengamanan fisik. Karena harus dikelola, dimanfaatkan, yang tujuannya untuk keselamatan aset,” imbuhnya. [SAR]
]]> Gubernur Aceh Nova Iriansyah dan Wali Kota Banda Aceh Aminullah Usman berkomitmen melakukan penyelesaian delapan aset yang selama ini tumpang tindih antara Provinsi dengan Kota Banda Aceh. Keduanya mendatangi Gedung KPK, Kuning, Jakarta Selatan, Kamis (11/2), untuk menyelesaikan masalah aset.
Di sana, mereka menemui Deputi Bidang Koordinasi dan Supervisi Herry KPK Muryanto dan Direktur Koordinasi dan Supervisi KPK Brigjen Polisi Didik Agung Widjanarko. Di hadapan perwakilan KPK itu, keduanya menandatangani berita acara penyelesaian masalah aset.
Nova Iriansyah menyampaikan terima kasih dan mengapresiasi gagasan KPK dalam mendorong penyelesaian aset tumpang tindih antara Pemprov Aceh dengan Pemkot Banda Aceh. “Sejak awal saya menilai penting untuk ditertibkan dan dikelola secara baik sehingga dapat dimanfaatkan untuk kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat Aceh, sebagaimana ketentuan yang berlaku,” kata Nova, usai penandatanganan.
Ia kemudian merincikan delapan aset yang sebelumnya tumpang tindih. Yaitu Gedung Banda Aceh Madani Education Center (BMEC), tanah dan bangunan Rumah Budaya, tanah Stadion Haji Di Murthala, tanah SD Negeri 47 Banda Aceh, tanah Rumah Dinas Wali Kota Banda Aceh, tanah Pasar Al Mahirah Lamdingin, tanah bangunan Cold Storage Lampulo, dan Pelabuhan penyeberangan Uleu Lheue.
“Untuk percepatan penyelesaiannya, saya telah instruksikan Sekda Aceh untuk melakukan upaya konkret penyelesaian aset-aset tersebut dengan Pemerintah Kota Banda Aceh,” sambung Nova.
Upaya yang dilakukan, tambahnya, telah disampaikannya kepada Wali Kota Banda Aceh melalui Surat Nomor 118/2338 tanggal 10 Februari 2020 tentang Tindak Lanjut hasil temuan BPK sebagaimana amanat UU 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, yaitu Pelabuhan Penyeberangan Uleu Lheue menjadi kewenangan Pemprov.
“Beberapa aset lainnya telah ditindaklanjuti penyelesaiannya melalui rapat,pada 2 Juli 2020 di Kantor Gubernur Aceh yang dipimpin Sekda Aceh dan turut dihadiri Sekda Kota Banda Aceh beserta sejumlah pejabat lainnya,” katanya.
Pertemuan itu menghasilkan kesepakatan bahwa Pemkot Banda Aceh segera menyampaikan rencana pemanfaatan dan pengelolaan aset tumpang tindih tersebut, namun dalam perkembangannya belum berjalan sebagaimana yang diharapkan. Selanjutnya, kata Nova, pada 9 Februari 2021 telah dilaksanakan pula pertemuan lanjutan yang dipimpin Sekda Aceh dan turut dihadiri Wali Kota Banda Aceh beserta Sekda Kota Banda Aceh dan pejabat lainnya.
Politisi Demokrat ini menyebutkan, pertemuan itu menghasilkan kesepakatan akhir, yang lima dari delapan aset diserahkan kepada Pemkot Banda Aceh yaitu tanah Stadion Haji Di Murthala, tanah SD Negeri 47 Banda Aceh, tanah rumah dinas Walikota Banda Aceh, tanah pasar Al Mahirah Lamdingin dan tanah bangunan cold storage Lampulo. Sedangkan tiga aset lainnya, yaitu Gedung BMEC, Rumah Budaya dan Pelabuhan Penyeberangan Uleu Lheue diserahkan kepada Pemerintah Aceh.
Ia menyebutkan, kesepakatan ini telah tertuang dalam Berita Acara. Sehingga Pemprov Aceh dan Pemkot Banda Aceh telah memperoleh titik temu dan berkomitmen untuk menindaklanjuti sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam tempo penyelesaian sesingkat mungkin, yang diperkirakan pada akhir Maret ini tuntas.
Wali Kota Banda Aceh Aminullah Usman juga mengapresiasi KPK yang sudah berinisiatif menyelenggarakan acara tersebut, karena bisa menengahi kedua belah pihak. “Sebenarnya tidak ada lagi masalah terhadap aset ini karena sudah ada rapat sebelumnya. Tapi dengan adanya KPK sebagai mediator penyelesaian, maka kita yakin masalah ini akan segera selesai,” kata Aminullah.
Eks Dirut Bank Aceh ini juga mengatakan, dalam rapat yang dihadirinya pada 9 Februari, sudah dirumuskan apa yang mesti dilakukan. Urutannya juga sudah sangat jelas. Namun memang perlu ada pengawasan dari KPK. Begitu pula dengan Gubernur Aceh yang telah menetapkan tim Ad Hoc antara Pemerintah Aceh dengan Pemerintah Kota Banda Aceh untuk penyelesaian masalah tersebut. “Saya kira kalau sudah ada tim seperti itu, nanti kita menandatangani surat-surat saja untuk bekerja ekstra, mengejar waktu satu setengah bulan lagi, insya Allah bisa tuntas,” tambahnya.
Sementara itu, Deputi Bidang Koordinasi dan Supervisi Herry KPK Muryanto mengatakan, terkait dengan permasalahan aset ini, bagi KPK permasalah aset bukan hanya di Aceh, tapi juga ada di daerah lain di Indonesia. “Jadi kami coba menengahi, kami tidak mengambil keputusan, tapi kita coba berdiskusi, kami berdiri ditengah untuk mendorong,” kata Herry.
Menurutnya, aset ini sebenarnya harus dimanfaatkan masyarakat, sementara di tata kelola saat ini administrasinya masih amburadul. Untuk itu, harus dilakukan dari sisi pengamanan aset. “Kita harus pengamanan sertifikasi yang merupakan pengamanan fisik. Karena harus dikelola, dimanfaatkan, yang tujuannya untuk keselamatan aset,” imbuhnya. [SAR]
]]>.
Sumber : Rakyat Merdeka RM.ID .