Cukup Muncul Di Pemilihan Gubernur DKI 2017 Saja Waspada, Politik Identitas Masih Jadi Hantu Pilkada

Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) pusat, Abhan, mewanti-wanti munculnya politik identitas di gelaran Pemilhan Kepala Daerah (Pilkada) dan Pemilu di tahun mendatang. Diharapkan, politik indentitas ini cukup muncul di Pilkada DKI 2017 saja.

Menurutnya, potensi besaryang masih harus diantisipasi dalam gelaran Pemilu dan Pilkada di masa depan adalah lahirnya kembali politik identitas antar peserta. Politik indentitas ini masih menghantui Pilkada. Permainan kotor itu bisa menyeret masyarakat ke jurang konflik.

“Cukup 2017 saja. Saat itu politik identitas ini menggelora jelang Pilkada DKI Jakarta,” ujar Abhan dalam keterangannya.

Menurut Abhan, kasus-kasus pelanggaran politik identitas kini perlu dipetakan polanyadan di­carikan solusinya. Pasalnya, politik identitas di Indonesia sering didasarkan pada kepercayaan terhadap orang atau kelompok, berlandaskan kesamaan suku atau agama. Contoh paling nyata adalah ujaran kebencian yang bersifat SARA (Suku, Agama, Ras dan Antargolongan). “Ini jadi alat menjegal lawan politiknya,” ujarnya.

Pria asal Jawa Tengah (Jateng) ini mengklaim, mengantisipasi politik identitas, Bawaslu memiliki peran sentral. Salah satu caranya, dengan melakukan pendekatan struktural terhadap tokoh-tokoh agama, khususnya yang dianggap berpengaruh pada proses Pilkada dan Pemilu. Lalu, membangun komunikasi dan koordinasi secara intensif dengan kelompok lintas agama dan stakeholders.

Bawaslu juga pernah menerbitkan buku mengenai Pemilu tanpa politisasi SARA dan politik uang. “Ini menurut saya merupakan terobosan luar biasa,”tandasnya.

Sementara Wakil Ketua Eksternal Komnas HAM, Amiruddin Al-Rahab menambahkan, pelaku politik identitas kerap menjadi akar masalah munculnya persoalan-persoalan rasialisme di Indonesia. Akibatnya, seseorang atau kelompok yang mera­sa hidupdalam satu identitas biasanya kerap menunjukkan supremasi atau lebih unggul dibanding kelompok lain.

Padahal, lanjut dia, tak ada identitas tunggal. Bahkan, setiap orang, menurut Amir, bisa memiliki lebih dari satu identitas. Baik berbeda dalam etnis, ras, suku, maupun agama.

Amiruddin mengakui, pihaknya mencatat peningkatan kasus rasisme juga terjadi di Pilkada. Salah satunya, pada 2017, saat gelaran Pilkada DKI Jakarta.

Survei Komnas HAM selama 2011-2018 mencatat, ada 101 kasus rasialisme yang terjadi di Indonesia. Dalam kurun waktu itu, kasus rasisme paling banyak terjadi pada 2016 dengan 38 kasus, didominasi kasus di DKI Jakarta dengan 34 kasus.

“Ini penting kita pahami. Agar kita memiliki ruang untuk memahami dan menerima perbedaan,” tandasnya. [SSL]

]]> Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) pusat, Abhan, mewanti-wanti munculnya politik identitas di gelaran Pemilhan Kepala Daerah (Pilkada) dan Pemilu di tahun mendatang. Diharapkan, politik indentitas ini cukup muncul di Pilkada DKI 2017 saja.

Menurutnya, potensi besaryang masih harus diantisipasi dalam gelaran Pemilu dan Pilkada di masa depan adalah lahirnya kembali politik identitas antar peserta. Politik indentitas ini masih menghantui Pilkada. Permainan kotor itu bisa menyeret masyarakat ke jurang konflik.

“Cukup 2017 saja. Saat itu politik identitas ini menggelora jelang Pilkada DKI Jakarta,” ujar Abhan dalam keterangannya.

Menurut Abhan, kasus-kasus pelanggaran politik identitas kini perlu dipetakan polanyadan di­carikan solusinya. Pasalnya, politik identitas di Indonesia sering didasarkan pada kepercayaan terhadap orang atau kelompok, berlandaskan kesamaan suku atau agama. Contoh paling nyata adalah ujaran kebencian yang bersifat SARA (Suku, Agama, Ras dan Antargolongan). “Ini jadi alat menjegal lawan politiknya,” ujarnya.

Pria asal Jawa Tengah (Jateng) ini mengklaim, mengantisipasi politik identitas, Bawaslu memiliki peran sentral. Salah satu caranya, dengan melakukan pendekatan struktural terhadap tokoh-tokoh agama, khususnya yang dianggap berpengaruh pada proses Pilkada dan Pemilu. Lalu, membangun komunikasi dan koordinasi secara intensif dengan kelompok lintas agama dan stakeholders.

Bawaslu juga pernah menerbitkan buku mengenai Pemilu tanpa politisasi SARA dan politik uang. “Ini menurut saya merupakan terobosan luar biasa,”tandasnya.

Sementara Wakil Ketua Eksternal Komnas HAM, Amiruddin Al-Rahab menambahkan, pelaku politik identitas kerap menjadi akar masalah munculnya persoalan-persoalan rasialisme di Indonesia. Akibatnya, seseorang atau kelompok yang mera­sa hidupdalam satu identitas biasanya kerap menunjukkan supremasi atau lebih unggul dibanding kelompok lain.

Padahal, lanjut dia, tak ada identitas tunggal. Bahkan, setiap orang, menurut Amir, bisa memiliki lebih dari satu identitas. Baik berbeda dalam etnis, ras, suku, maupun agama.

Amiruddin mengakui, pihaknya mencatat peningkatan kasus rasisme juga terjadi di Pilkada. Salah satunya, pada 2017, saat gelaran Pilkada DKI Jakarta.

Survei Komnas HAM selama 2011-2018 mencatat, ada 101 kasus rasialisme yang terjadi di Indonesia. Dalam kurun waktu itu, kasus rasisme paling banyak terjadi pada 2016 dengan 38 kasus, didominasi kasus di DKI Jakarta dengan 34 kasus.

“Ini penting kita pahami. Agar kita memiliki ruang untuk memahami dan menerima perbedaan,” tandasnya. [SSL]
]]>.
Sumber : Rakyat Merdeka RM.ID .

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Categories