CT Value Pasien Covid Di Surabaya Cuma 1,8 Kemungkinan Varian Baru Harus Segera Dicek .

Fenomena aneh pasien Covid-19 dengan CT value 1,8, bikin publik penasaran. Ada virus apa di tubuh Pekerja Migran Indonesia (PMI) yang baru pulang ke Jawa Timur (Jatim) itu? Dan bagaimana penanganannya?

Ahli epidemiologi Griffith University, Australia Dicky Budiman mengatakan, rendahnya CT value menjadi penanda tingginya konsentrasi materi genetik virus di dalam tubuh. “Biasanya berhubungan dengan risiko tinggi infektivitas,” kata Dicky ketika dikonfirmasi, Jumat (10/9).

Sebaliknya, CT value yang tinggi menunjukkan konsentrasi bahan genetik virus yang rendah yang biasanya dikaitkan dengan risiko infeksi yang lebih rendah.

Sementara dalam konteks saluran pernapasan bagian atas, sampel CT tinggi juga dapat mewakili skenario di mana risiko infeksi yang lebih tinggi tetap ada.

“Misalnya, infeksi dini, sampel yang tidak dikumpulkan secara memadai atau terdegradasi,” sambungnya.

Karena itu, Dicky menyarankan agar dilakukan whole genome sequencing (WGS) terhadap orang tersebut. Dengan begitu, varian dari virus tersebut bisa diketahui.

Selain pemeriksaan laboratorium, kandidat PhD dalam bidang Global Health Security dan Pandemi ini juga meminta agar dilakukan pemeriksaan fisik. Juga, memeriksa riwayat perjalanan pasien sebelum terinfeksi.

Namun, tingginya kadar virus dalam tubuh tidak selamanya menunjukkan gejala berat. “Tidak selalu berarti parah. Tapi gejalanya bisa sedang atau bahkan ringan,” tutupnya.

 

Sebelumnya, temuan pasien Covid-19 dengan CT Value 1,8 itu disampaikan Penanggung Jawab Rumah Sakit Lapangan Indrapura (RSLI) Surabaya, dr Samsulhadi pada Rabu (8/9).

“Kami menemukan CT value 1,8 pada satu pasien. Saya minta pasien tersebut diswab ulang oleh tim dokter. CT valuenya 1,8 atau 18,” katanya.

Pasien tersebut, kata Samsulhadi, sudah 12 hari dirawat di RSLI. Saat diswab ulang ternyata CT valuenya tetap 1,8.

Sementara Dokter Penanggung Jawab RSLI Surabaya Fauqa Arinil Aulia menjelaskan temuan pasien Covid-19 yang memiliki CT Value 1,8. Menurut Fauqa, rendahnya nilai CT Value pada pasien itu lantaran dites PCR dengan metode berbeda.

CT Value adalah nilai batas ambang siklus saat pemeriksaan tes swab PCR yang dapat memprediksi tingkat keparahan penyakit Covid-19.

“Teknologi dan metode kedokteran untuk mendeteksi virus terus berkembang. Metode yang digunakan bisa mempengaruhi tinggi atau rendahnya nilai CT Value pasien Covid-19,” ujar Fauqa, Jumat (10/9).

Dia menjelaskan, ada beberapa jenis tes PCR, di antaranya RT-PCR (reverse transcription PCR) dan iiPCR (insulated isothermal PCR). Teknik spesifik yang digunakan pada kedua pemeriksaan ini berbeda.

Menurutnya, untuk pemeriksaan menggunakan metode RT-PCR temperatur yang digunakan pada proses amplifikasi gen target bersiklus-siklus. Sementara untuk iiPCR temperaturnya cenderung konstan (isotermal).

 

“Jadi kalau muncul angka, kita baca dulu hasil ini diperiksa dengan instrumen apa, laporannya apa. Kalau CT Value 1,8 yang kemarin heboh itu, alatnya pakai isotermal PCR,” beber dia.

Keterangan CT Value pasien 1,8 pada metode iiPCR, jika dikonversi dalam satuan di metode RT-PCR, hasilnya berada di angka 20 ke bawah. Angka 1,8 dengan metode iiPCR itu, menurut Fauqa, juga bukan CT Value.

“Itu index ratio. Kalau di bawah 1,1 itu negatif, kalau 1,8 itu positif,” ucapnya. Untuk memastikan lebih lanjut, pihaknya pun mengirimkan sejumlah sampel tersebut ke lab Unair. [SAR]

]]> .
Fenomena aneh pasien Covid-19 dengan CT value 1,8, bikin publik penasaran. Ada virus apa di tubuh Pekerja Migran Indonesia (PMI) yang baru pulang ke Jawa Timur (Jatim) itu? Dan bagaimana penanganannya?

Ahli epidemiologi Griffith University, Australia Dicky Budiman mengatakan, rendahnya CT value menjadi penanda tingginya konsentrasi materi genetik virus di dalam tubuh. “Biasanya berhubungan dengan risiko tinggi infektivitas,” kata Dicky ketika dikonfirmasi, Jumat (10/9).

Sebaliknya, CT value yang tinggi menunjukkan konsentrasi bahan genetik virus yang rendah yang biasanya dikaitkan dengan risiko infeksi yang lebih rendah.

Sementara dalam konteks saluran pernapasan bagian atas, sampel CT tinggi juga dapat mewakili skenario di mana risiko infeksi yang lebih tinggi tetap ada.

“Misalnya, infeksi dini, sampel yang tidak dikumpulkan secara memadai atau terdegradasi,” sambungnya.

Karena itu, Dicky menyarankan agar dilakukan whole genome sequencing (WGS) terhadap orang tersebut. Dengan begitu, varian dari virus tersebut bisa diketahui.

Selain pemeriksaan laboratorium, kandidat PhD dalam bidang Global Health Security dan Pandemi ini juga meminta agar dilakukan pemeriksaan fisik. Juga, memeriksa riwayat perjalanan pasien sebelum terinfeksi.

Namun, tingginya kadar virus dalam tubuh tidak selamanya menunjukkan gejala berat. “Tidak selalu berarti parah. Tapi gejalanya bisa sedang atau bahkan ringan,” tutupnya.

 

Sebelumnya, temuan pasien Covid-19 dengan CT Value 1,8 itu disampaikan Penanggung Jawab Rumah Sakit Lapangan Indrapura (RSLI) Surabaya, dr Samsulhadi pada Rabu (8/9).

“Kami menemukan CT value 1,8 pada satu pasien. Saya minta pasien tersebut diswab ulang oleh tim dokter. CT valuenya 1,8 atau 18,” katanya.

Pasien tersebut, kata Samsulhadi, sudah 12 hari dirawat di RSLI. Saat diswab ulang ternyata CT valuenya tetap 1,8.

Sementara Dokter Penanggung Jawab RSLI Surabaya Fauqa Arinil Aulia menjelaskan temuan pasien Covid-19 yang memiliki CT Value 1,8. Menurut Fauqa, rendahnya nilai CT Value pada pasien itu lantaran dites PCR dengan metode berbeda.

CT Value adalah nilai batas ambang siklus saat pemeriksaan tes swab PCR yang dapat memprediksi tingkat keparahan penyakit Covid-19.

“Teknologi dan metode kedokteran untuk mendeteksi virus terus berkembang. Metode yang digunakan bisa mempengaruhi tinggi atau rendahnya nilai CT Value pasien Covid-19,” ujar Fauqa, Jumat (10/9).

Dia menjelaskan, ada beberapa jenis tes PCR, di antaranya RT-PCR (reverse transcription PCR) dan iiPCR (insulated isothermal PCR). Teknik spesifik yang digunakan pada kedua pemeriksaan ini berbeda.

Menurutnya, untuk pemeriksaan menggunakan metode RT-PCR temperatur yang digunakan pada proses amplifikasi gen target bersiklus-siklus. Sementara untuk iiPCR temperaturnya cenderung konstan (isotermal).

 

“Jadi kalau muncul angka, kita baca dulu hasil ini diperiksa dengan instrumen apa, laporannya apa. Kalau CT Value 1,8 yang kemarin heboh itu, alatnya pakai isotermal PCR,” beber dia.

Keterangan CT Value pasien 1,8 pada metode iiPCR, jika dikonversi dalam satuan di metode RT-PCR, hasilnya berada di angka 20 ke bawah. Angka 1,8 dengan metode iiPCR itu, menurut Fauqa, juga bukan CT Value.

“Itu index ratio. Kalau di bawah 1,1 itu negatif, kalau 1,8 itu positif,” ucapnya. Untuk memastikan lebih lanjut, pihaknya pun mengirimkan sejumlah sampel tersebut ke lab Unair. [SAR]
]]> .
Sumber : Rakyat Merdeka – RM.ID .

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Categories