Cabe Dan Beras, Ada Apa?

Cabe mahal, beras impor. Setidaknya, dua fakta itu bisa mewakili politik pangan Indonesia sekarang.

Cabe mahal bukan isu baru. Di era Orde Baru, ketika harga cabe mahal, Soeharto bahkan meletakkan pot berisi pohon cabe di atas mejanya. Saat itu sedang sidang kabinet. Cabe itu dimakannya dengan tahu.

Pulang sidang kabinet, saat itu tiga bulan sebelum lebaran, para menteri diberi oleh-oleh benih cabe merah. Benih itu ditanam di kaleng susu. Itu perintah simbolis ala Soeharto.

Perintah itu sangat melekat dalam benak menteri Emil Salim yang pernah menceritakan kembali soal ini. Bagi Emil, urusannya bukan hanya sekadar cabe. Kalau cabenya sudah menguning, kata Emil, itu pertanda bahwa dia harus menyiapkan infrastruktur transportasi untuk para petani.

Itu sekadar kisah pemanis. Sejarah. Bisa mengundang pro kontra. Yang pasti, di era reformasi, harga cabe masih jadi masalah. Pertanyaannya: kenapa terus berulang?

Beras juga sama. Dari pemerintah yang satu ke pemerintah yang lain, isunya tak jauh dari impor saat musim panen. Harga turun, petani rugi. Sekarang, pemerintah akan mengimpor beras satu juta ton di saat panen raya. Impor ditugaskan ke Bulog.

Yang menarik, Direktur Utama Perum Bulog Budi Waseso mengaku tak mengusulkan impor beras untuk tahun ini. Budi mengaku Bulog menerima perintah mendadak dari Menteri Perdagangan dan Menko Perekonomian.

Stok beras impor tahun sebelumnya, kata Budi, masih menumpuk di gudang. Kondisinya mengkhawatirkan. Dia sudah melapor data ini ke Presiden.

Beras impor ini, kata Budi, salah jenis. Berasnya pera. Kurang sesuai selera masyarakat. Untuk mengakalinya, beras impor ini kemudian dicampur beras lokal.

Bukan hanya Bulog, para kepala daerah yang daerahnya memasuki musim panen, juga menolak impor beras. Ridwan Kamil (Jabar) dan Ganjar Pranowo (Jateng) misalnya, menyuarakan penolakan. Kata mereka, kasihan petani yang sedang panen.

Di tingkat bawah, baru dengar kabar akan impor saja, efeknya sudah terasa. Spekulan bermain. Harga turun. Petani dirugikan. Langsung lemas.

Sebenarnya, apakah stok beras nasional 2021 aman? Kementerian Pertanian mengklaim, aman. Karena, Maret-April 2021 sebagian besar lahan memasuki panen. Panen raya.

Lalu untuk apa impor? Tampaknya ada miskomunikasi di atas. Akibatnya, suaranya tidak sama. Satunya ingin impor, yang lain menolak, tegas atau halus.

Kondisi ini tentu kurang baik bagi citra pemerintah. Seperti ada kepentingan yang berbenturan. Ada data yang tidak berjalan seiring. Ada miskoordinasi. Rakyat pun bertanya-tanya. Ada apa?

Sekarang, setelah ada “ego sektoral” itu, kita berharap ada kebijakan baru yang menguntungkan rakyat dan petani. Bukan yang lain.(*)

]]> Cabe mahal, beras impor. Setidaknya, dua fakta itu bisa mewakili politik pangan Indonesia sekarang.

Cabe mahal bukan isu baru. Di era Orde Baru, ketika harga cabe mahal, Soeharto bahkan meletakkan pot berisi pohon cabe di atas mejanya. Saat itu sedang sidang kabinet. Cabe itu dimakannya dengan tahu.

Pulang sidang kabinet, saat itu tiga bulan sebelum lebaran, para menteri diberi oleh-oleh benih cabe merah. Benih itu ditanam di kaleng susu. Itu perintah simbolis ala Soeharto.

Perintah itu sangat melekat dalam benak menteri Emil Salim yang pernah menceritakan kembali soal ini. Bagi Emil, urusannya bukan hanya sekadar cabe. Kalau cabenya sudah menguning, kata Emil, itu pertanda bahwa dia harus menyiapkan infrastruktur transportasi untuk para petani.

Itu sekadar kisah pemanis. Sejarah. Bisa mengundang pro kontra. Yang pasti, di era reformasi, harga cabe masih jadi masalah. Pertanyaannya: kenapa terus berulang?

Beras juga sama. Dari pemerintah yang satu ke pemerintah yang lain, isunya tak jauh dari impor saat musim panen. Harga turun, petani rugi. Sekarang, pemerintah akan mengimpor beras satu juta ton di saat panen raya. Impor ditugaskan ke Bulog.

Yang menarik, Direktur Utama Perum Bulog Budi Waseso mengaku tak mengusulkan impor beras untuk tahun ini. Budi mengaku Bulog menerima perintah mendadak dari Menteri Perdagangan dan Menko Perekonomian.

Stok beras impor tahun sebelumnya, kata Budi, masih menumpuk di gudang. Kondisinya mengkhawatirkan. Dia sudah melapor data ini ke Presiden.

Beras impor ini, kata Budi, salah jenis. Berasnya pera. Kurang sesuai selera masyarakat. Untuk mengakalinya, beras impor ini kemudian dicampur beras lokal.

Bukan hanya Bulog, para kepala daerah yang daerahnya memasuki musim panen, juga menolak impor beras. Ridwan Kamil (Jabar) dan Ganjar Pranowo (Jateng) misalnya, menyuarakan penolakan. Kata mereka, kasihan petani yang sedang panen.

Di tingkat bawah, baru dengar kabar akan impor saja, efeknya sudah terasa. Spekulan bermain. Harga turun. Petani dirugikan. Langsung lemas.

Sebenarnya, apakah stok beras nasional 2021 aman? Kementerian Pertanian mengklaim, aman. Karena, Maret-April 2021 sebagian besar lahan memasuki panen. Panen raya.

Lalu untuk apa impor? Tampaknya ada miskomunikasi di atas. Akibatnya, suaranya tidak sama. Satunya ingin impor, yang lain menolak, tegas atau halus.

Kondisi ini tentu kurang baik bagi citra pemerintah. Seperti ada kepentingan yang berbenturan. Ada data yang tidak berjalan seiring. Ada miskoordinasi. Rakyat pun bertanya-tanya. Ada apa?

Sekarang, setelah ada “ego sektoral” itu, kita berharap ada kebijakan baru yang menguntungkan rakyat dan petani. Bukan yang lain.(*)
]]>.
Sumber : Rakyat Merdeka RM.ID .

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Categories