
BPOM Terus Kawal Pengembangan Vaksin Merah Putih
Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) menyatakan akan mengawal pengembangan vaksin merah putih buatan dalam negeri.
Kepala BPOM Penny Lukito menyatakan, hal ini merupakan komitmen lembaganya untuk mendukung penanganan Covid-19 dengan percepatan akses dan ketersediaan vaksin.
“Ini untuk memastikan, vaksin memenuhi standar dan persyaratan keamanan khasiat dan mutu produk,” ujar Penny, saat workshop Pengawalan Vaksin Merah Putih, Selasa (13/4).
Pengembangan vaksin merah putih ini merupakan respons atas kebutuhan percepatan penanganan Covid-19, sekaligus bentuk kemandirian bangsa. Apalagi, stok vaksin Indonesia terancam karena India melakukan embargo vaksin AstraZeneca.
Vaksin merah putih dikembangkan para peneliti dari berbagai perguruan tinggi di bawah konsorsium yang dikoordinir Kementerian Riset dan Teknologi/Badan Riset dan Inovasi Nasional (Kemenristek/BRIN).
Penny membeberkan, tahap pengembangan vaksin dimulai pada uji pengembangan awal kandidat vaksin, tahap uji preklinik pada hewan dengan skala laboratorium, tahap uji klinik pada manusia dalam skala pilot, hingga produksi di fasilitas farmasi.
“Keseluruhan tahapan proses harus didukung dengan hasil pengujian yang valid dan memenuhi kaidah dan standar yang berlaku secara internasional untuk menghasilkan vaksin yang aman, berkhasiat dan bermutu,” tuturnya.
Penny mengingatkan, tahap pengembangan vaksin dan tahapan preklinik merupakan tahapan kritis yang penting. Sebab, tahapan ini menentukan proof of concept suatu penelitian vaksin. Tahap awal ini akan menjadi dasar pengembangan berikutnya.
Dalam tahap preklinik ini, harus dapat dibuktikan bahwa suatu kandidat vaksin aman dan memiliki potensi menghasilkan respons imun pada pada beberapa spesies hewan uji, untuk dapat memperkirakan efeknya pada manusia.
“Standar yang ditetapkan pada tahapan pengembangan awal dan uji preklinik harus memenuhi persyaratan good laboratory practice (GLP),” jelas Penny.
Selanjutnya, dalam proses penelitian kandidat vaksin dari bibit vaksin, masih memerlukan penyesuaian sebelum masuk proses pada fasilitas skala industri yang dikenal dengan istilah upscalling.
Proses hilirisasi ini mencakup transfer teknologi dan metode pengujian, serta proses pembuatan bibit vaksin, hingga produk vaksin siap digunakan pada tahap uji klinik pada manusia. Tahapan ini harus memenuhi standar Good Manufacturing Practices (GMP).
“Dengan pemenuhan standar GLP dan GMP pada tahap awal, maka kandidat vaksin yang diperoleh dapat aman dan layak digunakan sebagai produk uji klinik pada manusia,” tandasnya. [DIR]
]]> Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) menyatakan akan mengawal pengembangan vaksin merah putih buatan dalam negeri.
Kepala BPOM Penny Lukito menyatakan, hal ini merupakan komitmen lembaganya untuk mendukung penanganan Covid-19 dengan percepatan akses dan ketersediaan vaksin.
“Ini untuk memastikan, vaksin memenuhi standar dan persyaratan keamanan khasiat dan mutu produk,” ujar Penny, saat workshop Pengawalan Vaksin Merah Putih, Selasa (13/4).
Pengembangan vaksin merah putih ini merupakan respons atas kebutuhan percepatan penanganan Covid-19, sekaligus bentuk kemandirian bangsa. Apalagi, stok vaksin Indonesia terancam karena India melakukan embargo vaksin AstraZeneca.
Vaksin merah putih dikembangkan para peneliti dari berbagai perguruan tinggi di bawah konsorsium yang dikoordinir Kementerian Riset dan Teknologi/Badan Riset dan Inovasi Nasional (Kemenristek/BRIN).
Penny membeberkan, tahap pengembangan vaksin dimulai pada uji pengembangan awal kandidat vaksin, tahap uji preklinik pada hewan dengan skala laboratorium, tahap uji klinik pada manusia dalam skala pilot, hingga produksi di fasilitas farmasi.
“Keseluruhan tahapan proses harus didukung dengan hasil pengujian yang valid dan memenuhi kaidah dan standar yang berlaku secara internasional untuk menghasilkan vaksin yang aman, berkhasiat dan bermutu,” tuturnya.
Penny mengingatkan, tahap pengembangan vaksin dan tahapan preklinik merupakan tahapan kritis yang penting. Sebab, tahapan ini menentukan proof of concept suatu penelitian vaksin. Tahap awal ini akan menjadi dasar pengembangan berikutnya.
Dalam tahap preklinik ini, harus dapat dibuktikan bahwa suatu kandidat vaksin aman dan memiliki potensi menghasilkan respons imun pada pada beberapa spesies hewan uji, untuk dapat memperkirakan efeknya pada manusia.
“Standar yang ditetapkan pada tahapan pengembangan awal dan uji preklinik harus memenuhi persyaratan good laboratory practice (GLP),” jelas Penny.
Selanjutnya, dalam proses penelitian kandidat vaksin dari bibit vaksin, masih memerlukan penyesuaian sebelum masuk proses pada fasilitas skala industri yang dikenal dengan istilah upscalling.
Proses hilirisasi ini mencakup transfer teknologi dan metode pengujian, serta proses pembuatan bibit vaksin, hingga produk vaksin siap digunakan pada tahap uji klinik pada manusia. Tahapan ini harus memenuhi standar Good Manufacturing Practices (GMP).
“Dengan pemenuhan standar GLP dan GMP pada tahap awal, maka kandidat vaksin yang diperoleh dapat aman dan layak digunakan sebagai produk uji klinik pada manusia,” tandasnya. [DIR]
]]> . Sumber : Rakyat Merdeka RM.ID .