
Bilang Ekonomi Mulai Bangkit Sri Mulyani Tunjukin Angka-angka
Menteri Keuangan Sri Mulyani mengklaim, perekonomian Indonesia mulai bangkit. Untuk meyakinkan omongannya itu, Sri Mulyani pamer angka-angka.
Sejak awal bulan kemarin, Sri Mulyani tak bosan-bosan mengabarkan soal perekonomian yang berangsur pulih. Hampir dalam setiap pertemuan, eks Direktur Pelaksana Bank Dunia itu, selalu menceritakan berbagai indikator ekonomi yang membaik.
Begitu pula saat dia membuka acara Konferensi 500.000 UMKM Baru secara daring, kemarin. Dalam pertemuan bertajuk “Memacu Ekspor UMKM” itu, Sri Mulyani kembali menceritakan optimismenya terhadap pemulihan ekonomi.
Kata dia, pemulihan ekonomi itu mulai berjalan seiring aktivitas bisnis para pelaku usaha di dalam negeri. Hal ini ditunjukkan dari kinerja ekspor pada Maret 2021. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), ekspor Indonesia tumbuh 30,47 persen secara tahunan. Menurut Sri Mulyani, pertumbuhan ini tergolong tinggi dibandingkan tahun lalu.
Selain itu, kata Sri Mulyani, neraca perdagangan Maret 2021 tercatat surplus 1,57 miliar dolar AS. Angka itu lebih tinggi daripada surplus di periode sama tahun lalu yang hanya 570 juta dolar AS. Rinciannya, ekspor Indonesia pada bulan Maret 2021 tercatat 18,35 miliar dolar AS atau tumbuh 30,47 persen dari tahun lalu.
Pertumbuhan ini paling tinggi dalam dua tahun terakhir, terutama dibandingkan saat masa awal pandemi. Kenaikan tersebut didorong oleh peningkatan ekspor yang tinggi baik dari sektor pertanian, industri, maupun tambang.
Sementara impor Indonesia pada bulan Maret 2021 tercatat 16,79 miliar dolar AS atau tumbuh 25,73 persen. Realisasi ini didorong oleh kenaikan impor barang konsumsi, barang penolong, maupun barang modal.
Sri Mulyani menjelaskan, kinerja ekspor yang membaik tidak hanya tergantung pada pemerintah pusat atau daerah. Tapi juga paling penting adalah sektor swasta. Dengan perbaikan kinerja ekspor ini, dia yakin pemulihan ekonomi sudah di depan mata.
“Kenaikan ekspor ini menunjukkan pulihnya dan bangkitnya kembali perekonomian Indonesia dan pelaku ekonomi Indonesia serta pulihnya kembali perekonomian dunia,” ujar Sri Mulyani.
Ia berharap, tren ini bisa mendorong pertumbuhan ekonomi domestik. Melihat indikator itu, dia yakin target pertumbuhan ekonomi di kuartal kedua sebesar 7-8 persen dan 5 persen secara tahunan, bisa terealisasi.
Sri Mulyani berharap, para pelaku UMKM memanfaatkan perbaikan ekonomi ini untuk menembus pasar global. Apalagi Indonesia terus melakukan perjanjian dagang (free trade agreement/FTA) dengan negara dunia.
Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo mengatakan hal senada. Kata dia, perekonomian Indonesia kini sudah berada dalam tren perbaikan. Hal tersebut terefleksikan dengan terus membaiknya kinerja ekspor yang ditopang oleh komoditas andalan seperti minyak kelapa sawit, bijih logam, kendaraan bermotor, dan besi baja.
Penguatan ekspor juga didorong oleh meningkatnya permintaan dari negara mitra dagang utama Indonesia, yakni Amerika Serikat dan China.
Namun demikian, ekspektasi konsumen dan penjualan eceran masih tumbuh secara terbatas, dengan masih adanya kekhawatiran terhadap pandemi Covid-19.
Karena alasan itu, Bank Indonesia (BI) memutuskan untuk kembali merevisi perkiraan pertumbuhan ekonomi nasional sepanjang tahun 2021, dari 4,3 sampai 5,3 persen menjadi kisaran 4,1 hingga 5,1 persen.
Mungkinkah target pertumbuhan ekonomi 2021 sebesar 5 persen bisa terealisasi? Ekonom CORE, Yusif Rendy Manilet mengakui, sejumlah indikator ekonomi seperti kinerja ekspor dan PMI manufaktur pada Maret 2021 telah menunjukkan perbaikan signifikan.
Kinerja ekspor yang membaik ini bisa diartikan adanya aktifitas perdagangan internasional seperti China, serta didorong oleh perbaikan harga komoditas unggulan, misalnya Crude Palm Oil (CPO) dan batu bara. Di sisi lain, impor bahan baku yang juga mengalami pertumbuhan positif menunjukkan mulai bergeliatnya aktivitas ekonomi di dalam negeri.
“Kami lihat Indonesia baru akan keluar dari resesi paling cepat di kuartal II nanti, karena pertumbuhan ekonomi di kuartal I kami proyeksikan masih akan berada di level negatif,” kata Yusuf.
Ekonom senior, Faisal Basri menyampaikan pendapat yang sama. Kata dia, target pertumbuhan di atas 5 persen sulit terealisasi kalau sektor keuangan khususnya perbankan tidak dapat dimaksimalkan. Menurut dia, salah satu alasan ekonomi Indonesia tidak bisa meroket lantaran jantungnya lemah. Jantung perekonomian adalah sektor keuangan, utamanya perbankan.
Faisal menganalogikan, perbankan seperti jantungnya manusia, di mana fungsinya menyedot dana dari masyarakat dan memompakan dana itu kembali ke masyarakat. Nah, sementara ini perbankan terlihat pelit menyalurkan kreditnya ke masyarakat, tetapi dalam menghimpun dana sangat baik.
“Bank pinter semua, kecuali salurkan kredit. Penyaluran kredit jeblok sekali, hanya 42,8 persen dari PDB kredit domestik yang disalurkan oleh sektor keuangan di Indonesia,” paparnya.
Selain itu, kata Faisal, indeks inklusi keuangan Indonesia juga masih lemah, karena hanya 49 persen penduduk usia di atas 15 tahun memiliki akses ke bank atau punya akun di bank. “Kita hanya lebih baik dari Filipina, Vietnam, tapi kalah dengan Malaysia, Thailand, China, India. Sehingga, duitnya tidak muter, ditaro dicelengan, di bawah kasur, di lemari,” pungkasnya. [BCG]
]]> Menteri Keuangan Sri Mulyani mengklaim, perekonomian Indonesia mulai bangkit. Untuk meyakinkan omongannya itu, Sri Mulyani pamer angka-angka.
Sejak awal bulan kemarin, Sri Mulyani tak bosan-bosan mengabarkan soal perekonomian yang berangsur pulih. Hampir dalam setiap pertemuan, eks Direktur Pelaksana Bank Dunia itu, selalu menceritakan berbagai indikator ekonomi yang membaik.
Begitu pula saat dia membuka acara Konferensi 500.000 UMKM Baru secara daring, kemarin. Dalam pertemuan bertajuk “Memacu Ekspor UMKM” itu, Sri Mulyani kembali menceritakan optimismenya terhadap pemulihan ekonomi.
Kata dia, pemulihan ekonomi itu mulai berjalan seiring aktivitas bisnis para pelaku usaha di dalam negeri. Hal ini ditunjukkan dari kinerja ekspor pada Maret 2021. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), ekspor Indonesia tumbuh 30,47 persen secara tahunan. Menurut Sri Mulyani, pertumbuhan ini tergolong tinggi dibandingkan tahun lalu.
Selain itu, kata Sri Mulyani, neraca perdagangan Maret 2021 tercatat surplus 1,57 miliar dolar AS. Angka itu lebih tinggi daripada surplus di periode sama tahun lalu yang hanya 570 juta dolar AS. Rinciannya, ekspor Indonesia pada bulan Maret 2021 tercatat 18,35 miliar dolar AS atau tumbuh 30,47 persen dari tahun lalu.
Pertumbuhan ini paling tinggi dalam dua tahun terakhir, terutama dibandingkan saat masa awal pandemi. Kenaikan tersebut didorong oleh peningkatan ekspor yang tinggi baik dari sektor pertanian, industri, maupun tambang.
Sementara impor Indonesia pada bulan Maret 2021 tercatat 16,79 miliar dolar AS atau tumbuh 25,73 persen. Realisasi ini didorong oleh kenaikan impor barang konsumsi, barang penolong, maupun barang modal.
Sri Mulyani menjelaskan, kinerja ekspor yang membaik tidak hanya tergantung pada pemerintah pusat atau daerah. Tapi juga paling penting adalah sektor swasta. Dengan perbaikan kinerja ekspor ini, dia yakin pemulihan ekonomi sudah di depan mata.
“Kenaikan ekspor ini menunjukkan pulihnya dan bangkitnya kembali perekonomian Indonesia dan pelaku ekonomi Indonesia serta pulihnya kembali perekonomian dunia,” ujar Sri Mulyani.
Ia berharap, tren ini bisa mendorong pertumbuhan ekonomi domestik. Melihat indikator itu, dia yakin target pertumbuhan ekonomi di kuartal kedua sebesar 7-8 persen dan 5 persen secara tahunan, bisa terealisasi.
Sri Mulyani berharap, para pelaku UMKM memanfaatkan perbaikan ekonomi ini untuk menembus pasar global. Apalagi Indonesia terus melakukan perjanjian dagang (free trade agreement/FTA) dengan negara dunia.
Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo mengatakan hal senada. Kata dia, perekonomian Indonesia kini sudah berada dalam tren perbaikan. Hal tersebut terefleksikan dengan terus membaiknya kinerja ekspor yang ditopang oleh komoditas andalan seperti minyak kelapa sawit, bijih logam, kendaraan bermotor, dan besi baja.
Penguatan ekspor juga didorong oleh meningkatnya permintaan dari negara mitra dagang utama Indonesia, yakni Amerika Serikat dan China.
Namun demikian, ekspektasi konsumen dan penjualan eceran masih tumbuh secara terbatas, dengan masih adanya kekhawatiran terhadap pandemi Covid-19.
Karena alasan itu, Bank Indonesia (BI) memutuskan untuk kembali merevisi perkiraan pertumbuhan ekonomi nasional sepanjang tahun 2021, dari 4,3 sampai 5,3 persen menjadi kisaran 4,1 hingga 5,1 persen.
Mungkinkah target pertumbuhan ekonomi 2021 sebesar 5 persen bisa terealisasi? Ekonom CORE, Yusif Rendy Manilet mengakui, sejumlah indikator ekonomi seperti kinerja ekspor dan PMI manufaktur pada Maret 2021 telah menunjukkan perbaikan signifikan.
Kinerja ekspor yang membaik ini bisa diartikan adanya aktifitas perdagangan internasional seperti China, serta didorong oleh perbaikan harga komoditas unggulan, misalnya Crude Palm Oil (CPO) dan batu bara. Di sisi lain, impor bahan baku yang juga mengalami pertumbuhan positif menunjukkan mulai bergeliatnya aktivitas ekonomi di dalam negeri.
“Kami lihat Indonesia baru akan keluar dari resesi paling cepat di kuartal II nanti, karena pertumbuhan ekonomi di kuartal I kami proyeksikan masih akan berada di level negatif,” kata Yusuf.
Ekonom senior, Faisal Basri menyampaikan pendapat yang sama. Kata dia, target pertumbuhan di atas 5 persen sulit terealisasi kalau sektor keuangan khususnya perbankan tidak dapat dimaksimalkan. Menurut dia, salah satu alasan ekonomi Indonesia tidak bisa meroket lantaran jantungnya lemah. Jantung perekonomian adalah sektor keuangan, utamanya perbankan.
Faisal menganalogikan, perbankan seperti jantungnya manusia, di mana fungsinya menyedot dana dari masyarakat dan memompakan dana itu kembali ke masyarakat. Nah, sementara ini perbankan terlihat pelit menyalurkan kreditnya ke masyarakat, tetapi dalam menghimpun dana sangat baik.
“Bank pinter semua, kecuali salurkan kredit. Penyaluran kredit jeblok sekali, hanya 42,8 persen dari PDB kredit domestik yang disalurkan oleh sektor keuangan di Indonesia,” paparnya.
Selain itu, kata Faisal, indeks inklusi keuangan Indonesia juga masih lemah, karena hanya 49 persen penduduk usia di atas 15 tahun memiliki akses ke bank atau punya akun di bank. “Kita hanya lebih baik dari Filipina, Vietnam, tapi kalah dengan Malaysia, Thailand, China, India. Sehingga, duitnya tidak muter, ditaro dicelengan, di bawah kasur, di lemari,” pungkasnya. [BCG]
]]>.
Sumber : Rakyat Merdeka – RM.ID .