
Banjir: Hentikan Politisasi Itu…
Yang menyedihkan, banjir menjadi alat pemukul lawan politik dan menaikkan citra. Esensinya, yakni mencegah banjir, justru terpinggirkan.
Dulu, menjelang Pilkada DKI Jakarta 2017, saat terjadi banjir, pendukung Anies Baswedan menyerang Basuki Tjahaja Purnama, Ahok. Sekarang, giliran pendukung Ahok yang menyerang Anies. Begitu saja terus. Gantian.
Pilkada berikutnya, 2022 atau 2024, tidak ada jaminan situasi saling serang ini akan berhenti. Siapa pun gubernurnya. Banjir (di Jakarta) tampaknya masih jadi “banjir politik”. Jadi sarana saling sindir dan ngeledek.
Bagaimana menghentikannya? Kalau menunggu inisiatif dari para pendukung kedua kubu, tampaknya sulit. Sulit dilerai. Lama. Lukanya dalam. Polarisasinya tajam. Ibaratnya, dinasehati Jokowi, Prabowo, Anies, atau Ahok, apalagi Pak RT, tak akan digubris.
Yang bisa menghentikannya, ya menyetop banjir. Selesaikan semua urusan, dengan segala macam cara. Apa pun. Mau normalisasi, naturalisasi, atau sasi-sasi yang lain, yang penting hasil akhirnya: menghentikan banjir.
Kalau para politisi, para pemimpin, di pusat maupun daerah masih saling-silang pendapat, saling sindir, itu seperti menyediakan amunisi yang siap diledakkan para pendukung masing-masing kubu. Seperti menyediakan palagan.
Pilkada maupun pilpres memang sudah relatif dekat, tapi bakal koalisinya masih sangat cair. Yang sekarang saling serang dan saling sindir soal banjir, bisa saja nanti akan berkoalisi. Belum ada jaminan “siapa kawan, siapa lawan” sampai detik-detik terakhir. Banyak pengalaman yang membuktikan itu. Di Pilkada maupun Pilpres.
Karena itu, sekarang, fokuslah kepada penanganan dan pencegahan banjir. Korban harus ditolong, pastikan konsumsi, obat-obatan dan tempat tinggal para korban terpenuhi. Anak-anak juga perlu mendapat perhatian serius. Kesehatan para korban banjir, apalagi di masa pandemi, juga sangat penting. Fasilitas umum yang rusak perlu segera diperbaiki. Itu semua jauh lebih penting.
Di sisi lain, koordinasi antar kepala daerah, antara pusat dan daerah, juga tak kalah pentingnya. Dari segi pendanaan, pembebasan lahan dan sebagainya. Apa pun. Karena, dari dulu, koordinasi selalu jadi isu tahunan yang berulang setiap kali ada banjir. Entah sesulit apa, seolah tak terselesaikan.
Kalau pun ada yang masih memikirkan “politik”, kerja-kerja positif dan produktif itu, justru menjadi investasi politik. Jadi modal. Bisa diangkat kalau pun ada yang mau maju ke pemilihan berikutnya.
Karena itu, sudahlah, hentikan politisasi itu, fokuslah ke esensinya: bagaimana mencegah dan menangani banjir.
Harapan rakyat, sesederhana itu.(*)
]]> Yang menyedihkan, banjir menjadi alat pemukul lawan politik dan menaikkan citra. Esensinya, yakni mencegah banjir, justru terpinggirkan.
Dulu, menjelang Pilkada DKI Jakarta 2017, saat terjadi banjir, pendukung Anies Baswedan menyerang Basuki Tjahaja Purnama, Ahok. Sekarang, giliran pendukung Ahok yang menyerang Anies. Begitu saja terus. Gantian.
Pilkada berikutnya, 2022 atau 2024, tidak ada jaminan situasi saling serang ini akan berhenti. Siapa pun gubernurnya. Banjir (di Jakarta) tampaknya masih jadi “banjir politik”. Jadi sarana saling sindir dan ngeledek.
Bagaimana menghentikannya? Kalau menunggu inisiatif dari para pendukung kedua kubu, tampaknya sulit. Sulit dilerai. Lama. Lukanya dalam. Polarisasinya tajam. Ibaratnya, dinasehati Jokowi, Prabowo, Anies, atau Ahok, apalagi Pak RT, tak akan digubris.
Yang bisa menghentikannya, ya menyetop banjir. Selesaikan semua urusan, dengan segala macam cara. Apa pun. Mau normalisasi, naturalisasi, atau sasi-sasi yang lain, yang penting hasil akhirnya: menghentikan banjir.
Kalau para politisi, para pemimpin, di pusat maupun daerah masih saling-silang pendapat, saling sindir, itu seperti menyediakan amunisi yang siap diledakkan para pendukung masing-masing kubu. Seperti menyediakan palagan.
Pilkada maupun pilpres memang sudah relatif dekat, tapi bakal koalisinya masih sangat cair. Yang sekarang saling serang dan saling sindir soal banjir, bisa saja nanti akan berkoalisi. Belum ada jaminan “siapa kawan, siapa lawan” sampai detik-detik terakhir. Banyak pengalaman yang membuktikan itu. Di Pilkada maupun Pilpres.
Karena itu, sekarang, fokuslah kepada penanganan dan pencegahan banjir. Korban harus ditolong, pastikan konsumsi, obat-obatan dan tempat tinggal para korban terpenuhi. Anak-anak juga perlu mendapat perhatian serius. Kesehatan para korban banjir, apalagi di masa pandemi, juga sangat penting. Fasilitas umum yang rusak perlu segera diperbaiki. Itu semua jauh lebih penting.
Di sisi lain, koordinasi antar kepala daerah, antara pusat dan daerah, juga tak kalah pentingnya. Dari segi pendanaan, pembebasan lahan dan sebagainya. Apa pun. Karena, dari dulu, koordinasi selalu jadi isu tahunan yang berulang setiap kali ada banjir. Entah sesulit apa, seolah tak terselesaikan.
Kalau pun ada yang masih memikirkan “politik”, kerja-kerja positif dan produktif itu, justru menjadi investasi politik. Jadi modal. Bisa diangkat kalau pun ada yang mau maju ke pemilihan berikutnya.
Karena itu, sudahlah, hentikan politisasi itu, fokuslah ke esensinya: bagaimana mencegah dan menangani banjir.
Harapan rakyat, sesederhana itu.(*)
]]>.
Sumber : Rakyat Merdeka RM.ID .