Anies Tegaskan Komit Tekan Emisi Fenomena Cuaca Ekstrem Terjadi Tiga Tahun Sekali

Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta memastikan akan terus mengurangi emisi Gas Rumah Kaca (GRK) untuk menghadapi perubahan iklim. Salah satunya dengan menerapkan kawasan zona rendah emisi.

Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menuturkan, perubahan iklim berdampak pada menurunnya daya dukung lingkungan. Seperti banjir yang terjadi di awal tahun. Dan, kekeringan parah di wilayah Tanah Abang pada tahun 2018 lalu. Ditegaskannya, pihaknya tengah berupaya mengurangi emisi Gas Rumah Kaca (GRK) sebesar 50 persen pada tahun 2030. Serta, mencapai nol emisi pada tahun 2050. Dan, mengembangkan ketahanan masyarakat dalam beradaptasi dengan perubahan lingkungan dan iklim.

“Kini kami telah menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 26 persen. Ini akan terus kami kerjakan hingga target tersebut terpenuhi, bahkan terlampaui,” ujar Anies.

Upaya mengurangi emisi gas rumah kaca dikerjakan Pemprov DKI berkolaborasi dengan lembaga publik, entitas swasta, lembaga swadaya masyarakat (LSM) serta universitas.

Untuk menekan emisi, dipaparkan Anies, Pemprov DKI terus mengembangkan Zona Rendah Emisi atau Low Emission Zone (LEZ) seperti menetapkan kawasan Kota Tua sebagai LEZ. Kemudian, mewajibkan setiap kendaraan pribadi lolos uji emisi, merevitalisasi trotoar, menyiapkan jalur sepeda dan tempat parkir sepeda.

“Kami telah mengubah paradigma, dari pembangunan kota berorientasi mobil menjadi pembangunan berorientasi transit dengan melakukan integrasi sistem transportasi umum massal,” terang Anies.

Menurut Anies, usaha untuk mengurangi emisi gas rumah kaca terbantu dengan adanya Pandemi Covid-19. Hal itu bisa dilihat dari keluarnya Jakarta dari 10 besar kota termacet di dunia versi TomTom Traffic Index. Sehingga secara langsung membuat peningkatan kualitas udara di Jakarta.

Kepala Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), Dwikorita Karnawati mengatakan, perubahan iklim global merupakan hal yang nyata. Terbukti dari semakin meningkatnya fenomena alam ekstrem.

“Saat ini semakin sering terjadi fenomena ekstrem. Seperti kekeringan panjang akibat dampak El Nino dan musim hujan basah yang panjang dampak La Nina. Ini menunjukkan bahwa perubahan iklim global itu nyata,” kata Dwikorita dalam konferensi pers secara daring, di Jakarta, pekan lalu.

Dwikorita menerangkan, berdasarkan data historis yang dihimpun BMKG, La Nina terjadi sejak 1950 diikuti El Nino pada 1951 dan seterusnya terjadi berulang.

Fenomena tersebut mengalami pengulangan antara 5 sampai 7 tahun pada 1950-1980. Dan, pada masa 1981-2019, periode ulang La Nina dan El Nino semakin pendek menjadi 2 sampai 3 tahun.

Data dan fakta tersebut menunjukkan bahwa kejadian ekstrem terjadi beriringan dengan peningkatan temperatur udara dan berkorelasi dengan peningkatan intensitas hujan selama 30 tahun terakhir. Serta, semakin pendeknya periode ulang La Nina dan El Nino.

Deputi Klimatologi BMKG, Herizal menjelaskan, BMKG mencatat perubahan iklim jangka panjang telah terjadi di Indonesia dengan beberapa indikator. Antara lain tren GRK yang diukur di udara bersih Indonesia pada Stasiun Pemantau Atmosfer Global (Global Atmosphere Watch-GAW) BMKG Bukit Kototabang.

 

Dari pantauan tersebut menunjukkan laju peningkatan konsentrasi karbon dioksida (CO2), metana (CH4), nitrous oksida (N2O), dan sulfur heksafluorida (SF6) berturut-turut sebesar 1,6 ppm/tahun, 0,089 ppm/tahun, 0,012 ppm/tahun, dan 0,000004 ppm/tahun.

Hasil pengukuran CO2 pada Stasiun GAW BMKG Bukit Kototabang menunjukkan tren peningkatan CO2 yang sama dengan Stasiun GAW lainnya di dunia, seperti di Mauna Loa, Hawaii dan Baring Head, Selandia Baru.

Awal pengukuran GRK background di Indonesia, pada 2004, konsentrasi CO2 di Stasiun GAW BMKG Bukit Kototabang adalah 372 ppm (baseline). Selanjutnya hasil pengukuran pada akhir Oktober 2020, konsentrasi CO2 di GAW Bukit Kototabang meningkat menjadi 408 ppm, sementara rerata global adalah 415 ppm.

Sementara itu, analisis perubahan suhu udara rata-rata untuk seluruh wilayah Indonesia selama 71 tahun terakhir (1948-2019) menunjukkan laju peningkatan suhu sebesar 0,03 derajat celcius per tahun.

Berdasarkan data dari 91 stasiun pengamatan BMKG, suhu udara rata-rata tahun 2020 adalah 27,3 derajat Celcius. Lebih panas dibanding normal suhu udara rata-rata periode 1981-2010, yaitu 26,6 derajat Celcius.

Menurut data BMKG, tahun 2020 merupakan tahun terpanas kedua setelah tahun 2016 dengan anomali +0,8 derajat Celcius, melampaui 2019 (anomali + 0,6 derajat Celcius).

Kondisi ini mirip dengan perubahan suhu global sebagaimana dilaporkan World Meteorological Organization (WMO) pada awal Desember 2020.

Analisis terhadap frekuensi hujan lebat dengan curah hujan lebih dari 50 mm per hari menunjukkan kecenderungan tren meningkat dan semakin sering terjadi di banyak wilayah. Hal itu terindikasikan dari data-data dalam 40 tahun terakhir, seperti di Jakarta, Surabaya, Mataram-Lombok, Ujung Pandang, Jayapura, Biak, Lhokseumawe, dan Medan.

Sementara itu, pegiat lingkungan hidup terus mendesak pemerintah segera mendeklarasikan situasi darurat iklim. Koordinator Nasional Extinction Rebellion (XR) Indonesia, Melissa Kowara mengatakan, deklarasi tersebut adalah tindakan yang harus dengan segera dilakukan. Karena semua orang akan kehilangan lebih banyak lagi dari sekarang.

“Kami adalah rakyat yang butuh aksi nyata yang menjunjung tinggi keadilan dan dapat membawa kita keluar dari krisis iklim,” sebutnya.

Manajer Kampanye Keadilan Iklim Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Yuyun Harmono menilai, banyak kebijakan pemerintah justru mempermudah perusakan lingkungan itu sendiri dengan dalih pembangunan.

“Harus dipertanyakan, apakah komitmen pemerintah itu selaras dengan Perjanjian Paris? Karena kenyataannya, antara komitmen iklim dan kebijakan-kebijakan yang lahir belakangan ini sangat bertolak belakang,” pungkasnya. [OSP]

]]> Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta memastikan akan terus mengurangi emisi Gas Rumah Kaca (GRK) untuk menghadapi perubahan iklim. Salah satunya dengan menerapkan kawasan zona rendah emisi.

Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menuturkan, perubahan iklim berdampak pada menurunnya daya dukung lingkungan. Seperti banjir yang terjadi di awal tahun. Dan, kekeringan parah di wilayah Tanah Abang pada tahun 2018 lalu. Ditegaskannya, pihaknya tengah berupaya mengurangi emisi Gas Rumah Kaca (GRK) sebesar 50 persen pada tahun 2030. Serta, mencapai nol emisi pada tahun 2050. Dan, mengembangkan ketahanan masyarakat dalam beradaptasi dengan perubahan lingkungan dan iklim.

“Kini kami telah menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 26 persen. Ini akan terus kami kerjakan hingga target tersebut terpenuhi, bahkan terlampaui,” ujar Anies.

Upaya mengurangi emisi gas rumah kaca dikerjakan Pemprov DKI berkolaborasi dengan lembaga publik, entitas swasta, lembaga swadaya masyarakat (LSM) serta universitas.

Untuk menekan emisi, dipaparkan Anies, Pemprov DKI terus mengembangkan Zona Rendah Emisi atau Low Emission Zone (LEZ) seperti menetapkan kawasan Kota Tua sebagai LEZ. Kemudian, mewajibkan setiap kendaraan pribadi lolos uji emisi, merevitalisasi trotoar, menyiapkan jalur sepeda dan tempat parkir sepeda.

“Kami telah mengubah paradigma, dari pembangunan kota berorientasi mobil menjadi pembangunan berorientasi transit dengan melakukan integrasi sistem transportasi umum massal,” terang Anies.

Menurut Anies, usaha untuk mengurangi emisi gas rumah kaca terbantu dengan adanya Pandemi Covid-19. Hal itu bisa dilihat dari keluarnya Jakarta dari 10 besar kota termacet di dunia versi TomTom Traffic Index. Sehingga secara langsung membuat peningkatan kualitas udara di Jakarta.

Kepala Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), Dwikorita Karnawati mengatakan, perubahan iklim global merupakan hal yang nyata. Terbukti dari semakin meningkatnya fenomena alam ekstrem.

“Saat ini semakin sering terjadi fenomena ekstrem. Seperti kekeringan panjang akibat dampak El Nino dan musim hujan basah yang panjang dampak La Nina. Ini menunjukkan bahwa perubahan iklim global itu nyata,” kata Dwikorita dalam konferensi pers secara daring, di Jakarta, pekan lalu.

Dwikorita menerangkan, berdasarkan data historis yang dihimpun BMKG, La Nina terjadi sejak 1950 diikuti El Nino pada 1951 dan seterusnya terjadi berulang.

Fenomena tersebut mengalami pengulangan antara 5 sampai 7 tahun pada 1950-1980. Dan, pada masa 1981-2019, periode ulang La Nina dan El Nino semakin pendek menjadi 2 sampai 3 tahun.

Data dan fakta tersebut menunjukkan bahwa kejadian ekstrem terjadi beriringan dengan peningkatan temperatur udara dan berkorelasi dengan peningkatan intensitas hujan selama 30 tahun terakhir. Serta, semakin pendeknya periode ulang La Nina dan El Nino.

Deputi Klimatologi BMKG, Herizal menjelaskan, BMKG mencatat perubahan iklim jangka panjang telah terjadi di Indonesia dengan beberapa indikator. Antara lain tren GRK yang diukur di udara bersih Indonesia pada Stasiun Pemantau Atmosfer Global (Global Atmosphere Watch-GAW) BMKG Bukit Kototabang.

 

Dari pantauan tersebut menunjukkan laju peningkatan konsentrasi karbon dioksida (CO2), metana (CH4), nitrous oksida (N2O), dan sulfur heksafluorida (SF6) berturut-turut sebesar 1,6 ppm/tahun, 0,089 ppm/tahun, 0,012 ppm/tahun, dan 0,000004 ppm/tahun.

Hasil pengukuran CO2 pada Stasiun GAW BMKG Bukit Kototabang menunjukkan tren peningkatan CO2 yang sama dengan Stasiun GAW lainnya di dunia, seperti di Mauna Loa, Hawaii dan Baring Head, Selandia Baru.

Awal pengukuran GRK background di Indonesia, pada 2004, konsentrasi CO2 di Stasiun GAW BMKG Bukit Kototabang adalah 372 ppm (baseline). Selanjutnya hasil pengukuran pada akhir Oktober 2020, konsentrasi CO2 di GAW Bukit Kototabang meningkat menjadi 408 ppm, sementara rerata global adalah 415 ppm.

Sementara itu, analisis perubahan suhu udara rata-rata untuk seluruh wilayah Indonesia selama 71 tahun terakhir (1948-2019) menunjukkan laju peningkatan suhu sebesar 0,03 derajat celcius per tahun.

Berdasarkan data dari 91 stasiun pengamatan BMKG, suhu udara rata-rata tahun 2020 adalah 27,3 derajat Celcius. Lebih panas dibanding normal suhu udara rata-rata periode 1981-2010, yaitu 26,6 derajat Celcius.

Menurut data BMKG, tahun 2020 merupakan tahun terpanas kedua setelah tahun 2016 dengan anomali +0,8 derajat Celcius, melampaui 2019 (anomali + 0,6 derajat Celcius).

Kondisi ini mirip dengan perubahan suhu global sebagaimana dilaporkan World Meteorological Organization (WMO) pada awal Desember 2020.

Analisis terhadap frekuensi hujan lebat dengan curah hujan lebih dari 50 mm per hari menunjukkan kecenderungan tren meningkat dan semakin sering terjadi di banyak wilayah. Hal itu terindikasikan dari data-data dalam 40 tahun terakhir, seperti di Jakarta, Surabaya, Mataram-Lombok, Ujung Pandang, Jayapura, Biak, Lhokseumawe, dan Medan.

Sementara itu, pegiat lingkungan hidup terus mendesak pemerintah segera mendeklarasikan situasi darurat iklim. Koordinator Nasional Extinction Rebellion (XR) Indonesia, Melissa Kowara mengatakan, deklarasi tersebut adalah tindakan yang harus dengan segera dilakukan. Karena semua orang akan kehilangan lebih banyak lagi dari sekarang.

“Kami adalah rakyat yang butuh aksi nyata yang menjunjung tinggi keadilan dan dapat membawa kita keluar dari krisis iklim,” sebutnya.

Manajer Kampanye Keadilan Iklim Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Yuyun Harmono menilai, banyak kebijakan pemerintah justru mempermudah perusakan lingkungan itu sendiri dengan dalih pembangunan.

“Harus dipertanyakan, apakah komitmen pemerintah itu selaras dengan Perjanjian Paris? Karena kenyataannya, antara komitmen iklim dan kebijakan-kebijakan yang lahir belakangan ini sangat bertolak belakang,” pungkasnya. [OSP]
]]>.
Sumber : Rakyat Merdeka RM.ID .

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Categories