Al Wala` Wal Bara` Dan Tuntunan Agama Dalam Bersosialisasi

Doktrin Al Wala’ Wal Bara’ sengaja dihembuskan kelompok radikal untuk menghipnotis pola pikir umat Islam untuk digiring pada pola keberagamaan eksklusif, reduktif, dan parsial. Seperti hanya berteman, bersaudara, dan bergaul dengan yang seagama saja (wala’) dan membenci serta memusuhi orang lain atau kelompok yang beda agama (bara’). Tetapi apakah ajaran Islam mengajarkan demikian?

Direktur Eksekutif Center for Narrative Radicalism and Cyber Terrorism (CNRCT) Ayik Heriansyah menegaskan, pandangan tersebut keliru. Konsep Al Wala’ Wal Bara’ tidak dimaksudkan agar umat Islam eksklusif.

“Orang Islam itu boleh bergaul dengan siapa pun tanpa memandang SARA, kecuali bergaul untuk yang bersifat maksiat, merusak, atau mengganggu ketertiban masyarakat hingga stabilitas negara,” ujar Ayik, dalam keterangan yang diterima redaksi, Jumat (24/9).

Dia melanjutkan, dalam pandangan Islam, ada tiga tuntunan yang harus dipedomani dalam kehidupan sosial dan berbangsa. Pertama, tidak boleh berteman dengan memandang perbedaan suku, ras dan agama. Kedua, bergaul dengan tujuan untuk kemaslahatan umat. Ketiga, harus ada akhlak.

“Akhlak ini tidak mengenal SARA juga. Berbuat baik tidak hanya kepada orang yang seagama, tapi kepada semua orang,” jelasnya.

Mantan pimpinan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) Bangka Belitung ini juga menyinggung terkait doktrin keliru Al Wala’ Wal Bara’ yang kerap digunakan kelompok radikal untuk menjadi justifikasi melakukan tindakan kekerasan. Doktrin ini diartikan, umat hanya boleh bergaul dengan internal seagama dan didorong untuk membenci terhadap yang berbeda.

“Wala’ itu artinya kita harus setia, royal dengan orang orang seakidah, seagama. Bara’ artinya berlepas diri dari orang yang tidak seakidah. Nah permasalahannya, ketika istilah ini digunakan untuk masalah politik atau kenegaraan, di sinilah mulai muncul permasalahan, salah penempatan,” kata Ayik.

Pasalnya, ketika istilah tersebut masuk ke ranah publik bahkan kenegaraan, akan menjadi masalah tersendiri. Terlebih yang menjadi dasar negara sejatinya adalah konstitusi yang merupakan hasil kesepakatan para pendiri bangsa. Menurut Ayik, sangatlah keliru ketika Al Wala’ Wal Bara’ dicampuradukkan dalam urusan publik, politik, dan kenegaraan.

Ia melanjutnya, sejatinya konsep pemahaman yang salah terhadap Al Wala’ Wal Bara’ sangat kontradiktif dengan konsep Islam yang rahmatan lil’alamin. “Ini jelas bertentangan. Mereka (kelompok radikal) salah menempatkan, yang benar adalah ketika mereka tidak membawa konsep Wal Bara’ ke ranah publik. Sebab, dalam Islam, kalau bergaul dalam ranah publik mengikuti syariah dan akhlak,” tuturnya.

Oleh karenanya, pengurus Lembaga Dakwah NU (LDNU) Jawa Barat ini memandang perlunya peran tokoh agama dan ormas moderat untuk senantiasa meliterasi dan memberi pencerahan terus-menerus kepada umatnya, agar tidak mudah terjebak pada doktrin menyesatkan. “Perlu kita luruskan dan masyarakat umum kita beri pencerahan tentang bagaimana konsep konsep Al Wala’ Wal Bara’ yang sesungguhnya. Intinya setiap penyimpangan agama itu pasti membawa masalah. Kita memang harus rajin, karena mereka juga rajin menyebarkan ajaran yang menyimpang,” ungkap Ayik.

Penyimpangan makna dan ajaran yang demikian, menurutnya, justru memperburuk citra agama Islam dan membuat tujuan Islam yang rahmatan lil alamin justru sulit terwujud. “Indikator yang paling mudah untuk menilai sesuatu pemahaman itu menyimpang atau tidak, ya lihat saja tujuan akhirnya, apakah sikapnya akan membawa rahmatan lil alamin atau tidak,” ucap Ayik.■

]]> Doktrin Al Wala’ Wal Bara’ sengaja dihembuskan kelompok radikal untuk menghipnotis pola pikir umat Islam untuk digiring pada pola keberagamaan eksklusif, reduktif, dan parsial. Seperti hanya berteman, bersaudara, dan bergaul dengan yang seagama saja (wala’) dan membenci serta memusuhi orang lain atau kelompok yang beda agama (bara’). Tetapi apakah ajaran Islam mengajarkan demikian?

Direktur Eksekutif Center for Narrative Radicalism and Cyber Terrorism (CNRCT) Ayik Heriansyah menegaskan, pandangan tersebut keliru. Konsep Al Wala’ Wal Bara’ tidak dimaksudkan agar umat Islam eksklusif.

“Orang Islam itu boleh bergaul dengan siapa pun tanpa memandang SARA, kecuali bergaul untuk yang bersifat maksiat, merusak, atau mengganggu ketertiban masyarakat hingga stabilitas negara,” ujar Ayik, dalam keterangan yang diterima redaksi, Jumat (24/9).

Dia melanjutkan, dalam pandangan Islam, ada tiga tuntunan yang harus dipedomani dalam kehidupan sosial dan berbangsa. Pertama, tidak boleh berteman dengan memandang perbedaan suku, ras dan agama. Kedua, bergaul dengan tujuan untuk kemaslahatan umat. Ketiga, harus ada akhlak.

“Akhlak ini tidak mengenal SARA juga. Berbuat baik tidak hanya kepada orang yang seagama, tapi kepada semua orang,” jelasnya.

Mantan pimpinan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) Bangka Belitung ini juga menyinggung terkait doktrin keliru Al Wala’ Wal Bara’ yang kerap digunakan kelompok radikal untuk menjadi justifikasi melakukan tindakan kekerasan. Doktrin ini diartikan, umat hanya boleh bergaul dengan internal seagama dan didorong untuk membenci terhadap yang berbeda.

“Wala’ itu artinya kita harus setia, royal dengan orang orang seakidah, seagama. Bara’ artinya berlepas diri dari orang yang tidak seakidah. Nah permasalahannya, ketika istilah ini digunakan untuk masalah politik atau kenegaraan, di sinilah mulai muncul permasalahan, salah penempatan,” kata Ayik.

Pasalnya, ketika istilah tersebut masuk ke ranah publik bahkan kenegaraan, akan menjadi masalah tersendiri. Terlebih yang menjadi dasar negara sejatinya adalah konstitusi yang merupakan hasil kesepakatan para pendiri bangsa. Menurut Ayik, sangatlah keliru ketika Al Wala’ Wal Bara’ dicampuradukkan dalam urusan publik, politik, dan kenegaraan.

Ia melanjutnya, sejatinya konsep pemahaman yang salah terhadap Al Wala’ Wal Bara’ sangat kontradiktif dengan konsep Islam yang rahmatan lil’alamin. “Ini jelas bertentangan. Mereka (kelompok radikal) salah menempatkan, yang benar adalah ketika mereka tidak membawa konsep Wal Bara’ ke ranah publik. Sebab, dalam Islam, kalau bergaul dalam ranah publik mengikuti syariah dan akhlak,” tuturnya.

Oleh karenanya, pengurus Lembaga Dakwah NU (LDNU) Jawa Barat ini memandang perlunya peran tokoh agama dan ormas moderat untuk senantiasa meliterasi dan memberi pencerahan terus-menerus kepada umatnya, agar tidak mudah terjebak pada doktrin menyesatkan. “Perlu kita luruskan dan masyarakat umum kita beri pencerahan tentang bagaimana konsep konsep Al Wala’ Wal Bara’ yang sesungguhnya. Intinya setiap penyimpangan agama itu pasti membawa masalah. Kita memang harus rajin, karena mereka juga rajin menyebarkan ajaran yang menyimpang,” ungkap Ayik.

Penyimpangan makna dan ajaran yang demikian, menurutnya, justru memperburuk citra agama Islam dan membuat tujuan Islam yang rahmatan lil alamin justru sulit terwujud. “Indikator yang paling mudah untuk menilai sesuatu pemahaman itu menyimpang atau tidak, ya lihat saja tujuan akhirnya, apakah sikapnya akan membawa rahmatan lil alamin atau tidak,” ucap Ayik.■
]]> . Sumber : Rakyat Merdeka – RM.ID .

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Categories