2024, Diramal Utang Rp 10 Ribu Triliun Amit-amit, Semoga Ramalannya Meleset

Setiap tahun, utang pemerintah terus bertambah. Per Februari lalu, jumlahnya sudah mencapai Rp 6.361 triliun. Jika kebijakan utang tidak direm, peneliti senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Prof. Didik J Rachbini meramal, utang pemerintah akan mencapai Rp 10.000 triliun pada 2024. Amit-amit deh. Semoga ramalan Prof. Didik itu tidak kejadian.

Ramalan itu disampaikan Didik dalam webinar bertajuk “Kinerja BUMN dan Tumpukan Utang”, kemarin. Selain Didik, dua peneliti Indef lain ikut menjadi pembicara, yaitu Deniey Purwanto dan Dzulfian Syafrian. 

Calon Wakil Gubernur DKI pada Pilkada 2012 itu mengawali pemaparan dengan menjelaskan perjalanan utang pemerintah dari masa Presiden SBY sampai sekarang. Kata dia, di akhir masa jabatan pada 2014, SBY mewariskan utang sebesar Rp 2.700 triliun. Sementara, utang perusahaan pelat merah ada di kisaran Rp 500 triliun. 

Sekarang, jumlah utang pemerintah sudah melonjak drastis. Menurut data Kementerian Keuangan, angkanya sudah mencapai Rp 6.361 triliun per Februari 2021. Artinya, jumlah utang sudah naik 150 persen dalam waktu 5-6 tahun. “Utang selama puluhan tahun di-by pass lebih dari dua kali lipat,” kritik Didik. 

Jumlah itu, lanjut Didik, akan bertambah besar jika ditambah utang-utang milik BUMN yang ada di kisaran Rp 2.100 triliun. Jadi, total utang mencapai Rp 8.500 triliun. 

Menurut dia, jika pemerintah masih menerapkan kebijakan seperti sekarang, jumlah utang pada 2024 akan makin membengkak. “Ini belum selesai pemerintahannya (era Presiden Jokowi). Kalau sudah selesai (2024), diperkirakan bisa menjadi Rp 10.000 triliun utang di APBN dan utang BUMN. Ini suatu prestasi yang besar dan ini perlu dicermati,” sindir mantan politisi PAN ini. 

Kenapa utang pemerintah begitu cepat meroket? Didik menyampaikan sejumlah penyebabnya. Salah satunya, lemahnya peran DPR di bidang budgeting dalam mengontrol utang pemerintah. Saat ini, pemerintah dengan mudah menaikkan defisit APBN. Di masa lalu, pelebaran defisit APBN dari 1 persen ke 2 persen saja, melalui perdebatan panjang. Tapi sekarang, sangat gampang.

“(Sekarang) defisit APBN mencapai 5 persen. Mau utang berapa saja, silakan. DPR tak berkutik,” ujarnya. 

Ia khawatir, kondisi ini membuat pemerintah terperangkap dalam jerat utang yang berbahaya. Bunga utang Indonesia akan menjadi bola salju yang terus membesar seiring berjalannya waktu. Tahun ini saja, bunga utang yang harus dibayar Indonesia telah mencapai Rp 338,8 triliun atau setara 17 persen dari APBN 2020. Angka ini telah melewati batas aman yang direkomendasikan IMF, yakni 10 persen. Sementara, utang pokok yang harus dibayar menyentuh Rp 475 triliun. “Sehingga setiap tahunnya, Indonesia harus membayar utang sekitar Rp 750-800 triliun,” ungkapnya. 

Apa dampaknya jika utang pemerintah terus naik? Dzulfian Syafrian mengatakan, utang ini akan berimbas langsung kepada keuangan masyarakat di masa mendatang. Pasalnya, sebagian besar utang pemerintah adalah utang jangka panjang. Artinya, pemerintah akan membayar utang tersebut dengan cara, antara lain peningkatan pajak. 

Dzulfian bilang, hanya perkara waktu saja pemerintah akan menaikkan pajak masyarakat guna menutup utang saat ini. Akibatnya, keuangan pekerja, masyarakat produktif, serta generasi muda akan terimbas. “Saat ini, masyarakat hanya bayar pajak 15-20 persen. Tapi, ke depan bisa saja naik 25-30 persen. Karena itu yang akan dilakukan pemerintah untuk menutup utang yang dilakukan saat ini, oleh generasi ini,” ungkapnya. 

 

Bagaimana tanggapan DPR? Ketua Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN) DPR, Marwan Cik Asan bilang, secara umum, posisi utang pemerintah masih aman. Jumlahnya belum melebihi batas Undang-Undang (UU) Keuangan Negara, yang ditetapkan sebesar 60 persen dari Pendapatan Domestik Bruto (PDB). Namun, jika digabungkan dengan utang BUMN, rasionya telah melampaui ketentuan UU.

Karena itu, kata dia, ada beberapa hal yang harus menjadi perhatian pemerintah. Pertama, defisit keseimbangan primer terus meningkat. Ini menunjukkan bahwa pemerintah sudah tidak mempunyai dana yang cukup untuk membayar bunga utang sehingga pembayarannya dilakukan melalui penarikan utang baru. Padahal, harusnya utang digunakan sebagai menopang pertumbuhan ekonomi. Jika terus terjadi, keberlanjutan fiskal pemerintah akan terhambat, yang berujung pada kegagalan fiskal.

Kedua, porsi beban bunga utang dalam APBN semakin besar. Dalam APBN 2020, beban bunga utang telah mencapai Rp 338,78 triliun atau bertambah Rp 156 triliun dalam 5 tahun terakhir. Beban bunga utang dalam belanja telah melebihi belanja modal dan belanja barang yang dialokasikan untuk kegiatan produktif. 

Ketiga, biaya utang semakin mahal. Dari sisi imbal hasil, biaya utang Indonesia tergolong mahal. Untuk utang jangka waktu 10 tahun, mencapai 6,72 persen. Jauh lebih tinggi dibandingkan imbal hasil Jepang yang hanya 0,03 persen, China 2,99 persen, Thailand 1,29 persen, dan Malaysia 2,5 persen. 

Terakhir, porsi kepemilikan asing dalam Surat Berharga Negara (SBN) semakin besar. Sepanjang 2020, rata-rata kepemilikan asing dalam SBN telah mencapai 30 persen. Ini menjadi ancaman stabilitas nilai tukar rupiah jika sewaktu-waktu terjadi pembalikan arus modal.

Dari berbagai risiko itu, ia berharap pemerintah lebih selektif dalam melakukan penarikan utang. Utang yang diterima diharapkan dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional. Penarikan utang dalam jumlah sangat besar saat ini akan menjadi beban pemerintah di masa depan. “Ini berpotensi memengaruhi kemampuan membayar kembali utang pemerintah pada masa mendatang,” ucapnya. 

Jubir Menteri Keuangan, Yustinus Prastowo, mencoba menenangkan. Dia memastikan, kenaikan utang yang terjadi sesuai proyeksi. 

“Utang naik sesuai proyeksi. Pembiayaan APBN memang dibutuhkan untuk menangani pandemi, di saat penerimaan tertekan dan belanja naik. Termasuk untuk bansos, insentif, dan vaksinasi untuk seluruh rakyat Indonesia,” tulisnya di akun Twitter @prastow, saat menjawab komentar mantan Sekretaris Kementerian BUMN Said Didu di akun @msaid_didu, kemarin.

Dia juga memastikan, jumlah utang pemerintah saat ini masih wajar, aman, dan terkendali. “Silakan cek pernyataan Gubernur BI dan Menteri Keuangan terkait ini. Sama kok, hasil asesmennya demikian, dan kita tetap menjaga kehati-hatian,” tulisnya saat membalas komentar akun @bachrum_achmadi. 

Akun @hrizal_shm berharap, pemerintah segera mengevaluasi kebijakan utang yang selama ini berjalan. Dia tak mau ramalan Didik J Rachbini sampai kejadian. “Hancurlah negeri ini kalau benar terjadi seperti itu… Siapa yang suruh bayar?” ucapnya. [BCG]

]]> Setiap tahun, utang pemerintah terus bertambah. Per Februari lalu, jumlahnya sudah mencapai Rp 6.361 triliun. Jika kebijakan utang tidak direm, peneliti senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Prof. Didik J Rachbini meramal, utang pemerintah akan mencapai Rp 10.000 triliun pada 2024. Amit-amit deh. Semoga ramalan Prof. Didik itu tidak kejadian.

Ramalan itu disampaikan Didik dalam webinar bertajuk “Kinerja BUMN dan Tumpukan Utang”, kemarin. Selain Didik, dua peneliti Indef lain ikut menjadi pembicara, yaitu Deniey Purwanto dan Dzulfian Syafrian. 

Calon Wakil Gubernur DKI pada Pilkada 2012 itu mengawali pemaparan dengan menjelaskan perjalanan utang pemerintah dari masa Presiden SBY sampai sekarang. Kata dia, di akhir masa jabatan pada 2014, SBY mewariskan utang sebesar Rp 2.700 triliun. Sementara, utang perusahaan pelat merah ada di kisaran Rp 500 triliun. 

Sekarang, jumlah utang pemerintah sudah melonjak drastis. Menurut data Kementerian Keuangan, angkanya sudah mencapai Rp 6.361 triliun per Februari 2021. Artinya, jumlah utang sudah naik 150 persen dalam waktu 5-6 tahun. “Utang selama puluhan tahun di-by pass lebih dari dua kali lipat,” kritik Didik. 

Jumlah itu, lanjut Didik, akan bertambah besar jika ditambah utang-utang milik BUMN yang ada di kisaran Rp 2.100 triliun. Jadi, total utang mencapai Rp 8.500 triliun. 

Menurut dia, jika pemerintah masih menerapkan kebijakan seperti sekarang, jumlah utang pada 2024 akan makin membengkak. “Ini belum selesai pemerintahannya (era Presiden Jokowi). Kalau sudah selesai (2024), diperkirakan bisa menjadi Rp 10.000 triliun utang di APBN dan utang BUMN. Ini suatu prestasi yang besar dan ini perlu dicermati,” sindir mantan politisi PAN ini. 

Kenapa utang pemerintah begitu cepat meroket? Didik menyampaikan sejumlah penyebabnya. Salah satunya, lemahnya peran DPR di bidang budgeting dalam mengontrol utang pemerintah. Saat ini, pemerintah dengan mudah menaikkan defisit APBN. Di masa lalu, pelebaran defisit APBN dari 1 persen ke 2 persen saja, melalui perdebatan panjang. Tapi sekarang, sangat gampang.

“(Sekarang) defisit APBN mencapai 5 persen. Mau utang berapa saja, silakan. DPR tak berkutik,” ujarnya. 

Ia khawatir, kondisi ini membuat pemerintah terperangkap dalam jerat utang yang berbahaya. Bunga utang Indonesia akan menjadi bola salju yang terus membesar seiring berjalannya waktu. Tahun ini saja, bunga utang yang harus dibayar Indonesia telah mencapai Rp 338,8 triliun atau setara 17 persen dari APBN 2020. Angka ini telah melewati batas aman yang direkomendasikan IMF, yakni 10 persen. Sementara, utang pokok yang harus dibayar menyentuh Rp 475 triliun. “Sehingga setiap tahunnya, Indonesia harus membayar utang sekitar Rp 750-800 triliun,” ungkapnya. 

Apa dampaknya jika utang pemerintah terus naik? Dzulfian Syafrian mengatakan, utang ini akan berimbas langsung kepada keuangan masyarakat di masa mendatang. Pasalnya, sebagian besar utang pemerintah adalah utang jangka panjang. Artinya, pemerintah akan membayar utang tersebut dengan cara, antara lain peningkatan pajak. 

Dzulfian bilang, hanya perkara waktu saja pemerintah akan menaikkan pajak masyarakat guna menutup utang saat ini. Akibatnya, keuangan pekerja, masyarakat produktif, serta generasi muda akan terimbas. “Saat ini, masyarakat hanya bayar pajak 15-20 persen. Tapi, ke depan bisa saja naik 25-30 persen. Karena itu yang akan dilakukan pemerintah untuk menutup utang yang dilakukan saat ini, oleh generasi ini,” ungkapnya. 

 

Bagaimana tanggapan DPR? Ketua Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN) DPR, Marwan Cik Asan bilang, secara umum, posisi utang pemerintah masih aman. Jumlahnya belum melebihi batas Undang-Undang (UU) Keuangan Negara, yang ditetapkan sebesar 60 persen dari Pendapatan Domestik Bruto (PDB). Namun, jika digabungkan dengan utang BUMN, rasionya telah melampaui ketentuan UU.

Karena itu, kata dia, ada beberapa hal yang harus menjadi perhatian pemerintah. Pertama, defisit keseimbangan primer terus meningkat. Ini menunjukkan bahwa pemerintah sudah tidak mempunyai dana yang cukup untuk membayar bunga utang sehingga pembayarannya dilakukan melalui penarikan utang baru. Padahal, harusnya utang digunakan sebagai menopang pertumbuhan ekonomi. Jika terus terjadi, keberlanjutan fiskal pemerintah akan terhambat, yang berujung pada kegagalan fiskal.

Kedua, porsi beban bunga utang dalam APBN semakin besar. Dalam APBN 2020, beban bunga utang telah mencapai Rp 338,78 triliun atau bertambah Rp 156 triliun dalam 5 tahun terakhir. Beban bunga utang dalam belanja telah melebihi belanja modal dan belanja barang yang dialokasikan untuk kegiatan produktif. 

Ketiga, biaya utang semakin mahal. Dari sisi imbal hasil, biaya utang Indonesia tergolong mahal. Untuk utang jangka waktu 10 tahun, mencapai 6,72 persen. Jauh lebih tinggi dibandingkan imbal hasil Jepang yang hanya 0,03 persen, China 2,99 persen, Thailand 1,29 persen, dan Malaysia 2,5 persen. 

Terakhir, porsi kepemilikan asing dalam Surat Berharga Negara (SBN) semakin besar. Sepanjang 2020, rata-rata kepemilikan asing dalam SBN telah mencapai 30 persen. Ini menjadi ancaman stabilitas nilai tukar rupiah jika sewaktu-waktu terjadi pembalikan arus modal.

Dari berbagai risiko itu, ia berharap pemerintah lebih selektif dalam melakukan penarikan utang. Utang yang diterima diharapkan dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional. Penarikan utang dalam jumlah sangat besar saat ini akan menjadi beban pemerintah di masa depan. “Ini berpotensi memengaruhi kemampuan membayar kembali utang pemerintah pada masa mendatang,” ucapnya. 

Jubir Menteri Keuangan, Yustinus Prastowo, mencoba menenangkan. Dia memastikan, kenaikan utang yang terjadi sesuai proyeksi. 

“Utang naik sesuai proyeksi. Pembiayaan APBN memang dibutuhkan untuk menangani pandemi, di saat penerimaan tertekan dan belanja naik. Termasuk untuk bansos, insentif, dan vaksinasi untuk seluruh rakyat Indonesia,” tulisnya di akun Twitter @prastow, saat menjawab komentar mantan Sekretaris Kementerian BUMN Said Didu di akun @msaid_didu, kemarin.

Dia juga memastikan, jumlah utang pemerintah saat ini masih wajar, aman, dan terkendali. “Silakan cek pernyataan Gubernur BI dan Menteri Keuangan terkait ini. Sama kok, hasil asesmennya demikian, dan kita tetap menjaga kehati-hatian,” tulisnya saat membalas komentar akun @bachrum_achmadi. 

Akun @hrizal_shm berharap, pemerintah segera mengevaluasi kebijakan utang yang selama ini berjalan. Dia tak mau ramalan Didik J Rachbini sampai kejadian. “Hancurlah negeri ini kalau benar terjadi seperti itu… Siapa yang suruh bayar?” ucapnya. [BCG]
]]>.
Sumber : Rakyat Merdeka RM.ID .

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Categories