1.500 Gerai Gulung Tikar Selama Pandemi Bos Kadin: Ritel Membaik Meski Banyak Tantangan

Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia mencatat perkembangan industri ritel pada tahun 2022 perlahan mulai tumbuh. Pasalnya, selama pandemi, sejak Maret 2020-Maret 2021, lebih dari 1.500 gerai ritel gulung tikar.

Ketua Umum Kadin Indonesia Arsjad Rasjid mengatakan, pan­demi Covid-19 sangat memukul mayoritas sektor perekenomian, tak terkecuali sektor ritel.

Namun, pada Juni 2022 kinerja sektor ritel membaik, ditunjuk­kan oleh laporan Bank Indonesia mengenai Indeks Penjual Riil (IPR) Agustus 2022 mencapai 200,28. Meningkat 5,4 persen (year on year/yoy). Sedangkan IPR Juli 2022 mencapai 200,49 atau meningkat 4,7 persen yoy.

“Berdasarkan survei kinerja penjualan eceran, pada Juli 2022 tumbuh mencapai 6,20. Angka ini meningkat dalam perdagan­gan ritel sejak April, yang didor­ong tingkat konsumsi. Terutama belanja kendaraan bermotor 67 persen dan kelompok sandang 59 persen,” ujar Arsjad dalam dikusi bertajuk ‘The Rise of The Retail Industry Towards 2023’, kemarin.

Arsjad menilai, dalam aktivi­tas sektor ritel di Indonesia, ritel tradisional seperti kios, toko klontong dan UMKM adalah jenis ritel yang paling men­dominasi dengan 3,5 juta gerai di Indonesia pada 2021.

Namun, angka ini berkurang 1 juta gerai dibanding 2017 yang jumlahnya 4,5 juta gerai.

“Hal ini dikarenakan ritel tradisional paling rentan selama pandemi,” katanya.

Saat ini, lanjut Arsjad, walau­pun pandemi hampir berakhir, tapi sektor ritel masih dihadapi berba­gai tantangan untuk menguat.

Pertama, tantangan logis­tik. Mulai dari karakteristik geografis Indonesia yang me­nyebabkan rantai pasok barang memakan waktu rata-rata 3 hari, sementara negara-negara lain hanya 3 jam.

“Bisnis masih terfragmentasi, lebih dari 80 persen, masih tra­disional. Bea masuk berbelit-belit untuk ekspor impor barang yang menyebabkan keterlambatan,” ungkap Bos Indika Energy ini.

 

Kedua, tantangan inflasi. Arsjad menjelaskan, Bank Indonesia (BI) memproyeksikan konsumsi masyarakat akan menurun hing­ga 3-6 bulan ke depan.

Hal ini dipengaruhi oleh kelompok pangan yang inflasinya pada Agustus 2022 mencapai 8,9 persen. Ditambah oleh dampak kenaikan Bahan Bakar Minyak (BBM) subsidi.

“Ini akan mempengaruhi daya beli masyarakat, sehingga ber­pengaruh pada industri ritel. Harus diwaspadai,” ucapnya.

Pasalnya, BI sudah memperkira­kan penjualan pada Oktober 2022 dan Januari 2023 masing-masing 26,6 persen dan 23 persen dibanding Agustus 2022.

Ketua Umum Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI) Alphonsus Widjaja tetap optimistis perekonomian akan tumbuh.

Dia juga menilai, ancaman inflasi dan resesi tahun depan tak akan terlalu berdampak pada industri ritel dan pusat perbelanjaan.

“Dampaknya tidak akan ter­lalu terasa kalau kita dorong perdagangan dalam negeri,” ujarnya.

Menurutnya, dampak resesi memang akan terasa secara global. Khususnya bagi negara-negara tetangga yang perda­gangan dalam negerinya tidak sekuat Indonesia.

Namun, kata Alphonsus, Indonesia memiliki keuntungan jumlah penduduk yang tinggi, sehingga ancaman re­sesi cukup dihadapi dengan penguatan sektor perdagangan domestik. [KPJ]

]]> Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia mencatat perkembangan industri ritel pada tahun 2022 perlahan mulai tumbuh. Pasalnya, selama pandemi, sejak Maret 2020-Maret 2021, lebih dari 1.500 gerai ritel gulung tikar.

Ketua Umum Kadin Indonesia Arsjad Rasjid mengatakan, pan­demi Covid-19 sangat memukul mayoritas sektor perekenomian, tak terkecuali sektor ritel.

Namun, pada Juni 2022 kinerja sektor ritel membaik, ditunjuk­kan oleh laporan Bank Indonesia mengenai Indeks Penjual Riil (IPR) Agustus 2022 mencapai 200,28. Meningkat 5,4 persen (year on year/yoy). Sedangkan IPR Juli 2022 mencapai 200,49 atau meningkat 4,7 persen yoy.

“Berdasarkan survei kinerja penjualan eceran, pada Juli 2022 tumbuh mencapai 6,20. Angka ini meningkat dalam perdagan­gan ritel sejak April, yang didor­ong tingkat konsumsi. Terutama belanja kendaraan bermotor 67 persen dan kelompok sandang 59 persen,” ujar Arsjad dalam dikusi bertajuk ‘The Rise of The Retail Industry Towards 2023’, kemarin.

Arsjad menilai, dalam aktivi­tas sektor ritel di Indonesia, ritel tradisional seperti kios, toko klontong dan UMKM adalah jenis ritel yang paling men­dominasi dengan 3,5 juta gerai di Indonesia pada 2021.

Namun, angka ini berkurang 1 juta gerai dibanding 2017 yang jumlahnya 4,5 juta gerai.

“Hal ini dikarenakan ritel tradisional paling rentan selama pandemi,” katanya.

Saat ini, lanjut Arsjad, walau­pun pandemi hampir berakhir, tapi sektor ritel masih dihadapi berba­gai tantangan untuk menguat.

Pertama, tantangan logis­tik. Mulai dari karakteristik geografis Indonesia yang me­nyebabkan rantai pasok barang memakan waktu rata-rata 3 hari, sementara negara-negara lain hanya 3 jam.

“Bisnis masih terfragmentasi, lebih dari 80 persen, masih tra­disional. Bea masuk berbelit-belit untuk ekspor impor barang yang menyebabkan keterlambatan,” ungkap Bos Indika Energy ini.

 

Kedua, tantangan inflasi. Arsjad menjelaskan, Bank Indonesia (BI) memproyeksikan konsumsi masyarakat akan menurun hing­ga 3-6 bulan ke depan.

Hal ini dipengaruhi oleh kelompok pangan yang inflasinya pada Agustus 2022 mencapai 8,9 persen. Ditambah oleh dampak kenaikan Bahan Bakar Minyak (BBM) subsidi.

“Ini akan mempengaruhi daya beli masyarakat, sehingga ber­pengaruh pada industri ritel. Harus diwaspadai,” ucapnya.

Pasalnya, BI sudah memperkira­kan penjualan pada Oktober 2022 dan Januari 2023 masing-masing 26,6 persen dan 23 persen dibanding Agustus 2022.

Ketua Umum Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI) Alphonsus Widjaja tetap optimistis perekonomian akan tumbuh.

Dia juga menilai, ancaman inflasi dan resesi tahun depan tak akan terlalu berdampak pada industri ritel dan pusat perbelanjaan.

“Dampaknya tidak akan ter­lalu terasa kalau kita dorong perdagangan dalam negeri,” ujarnya.

Menurutnya, dampak resesi memang akan terasa secara global. Khususnya bagi negara-negara tetangga yang perda­gangan dalam negerinya tidak sekuat Indonesia.

Namun, kata Alphonsus, Indonesia memiliki keuntungan jumlah penduduk yang tinggi, sehingga ancaman re­sesi cukup dihadapi dengan penguatan sektor perdagangan domestik. [KPJ]
]]> . Sumber : Rakyat Merdeka – RM.ID .

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Categories